Ziliun
  • Inner Space
  • Workipedia
  • Money Talks
  • What’s Hypening
  • Event & Academy
  • Bikin Kontenmu Sekarang!
No Result
View All Result
  • Inner Space
  • Workipedia
  • Money Talks
  • What’s Hypening
  • Event & Academy
  • Bikin Kontenmu Sekarang!
No Result
View All Result
Ziliun
No Result
View All Result

Kenapa Saya Tak Lagi Percaya pada Pembangunan Karakter (1)

Mauren FitribyMauren Fitri
24/08/2015
in Opinion
0
Kenapa Saya Tak Lagi Percaya pada Pembangunan Karakter (1)
Share on FacebookShare on Twitter

Mengapa obsesi Indonesia terhadap “kearifan lokal” dan “pendidikan karakter” sangat salah sasaran.

“Kita harus menemukan kearifan lokal,” ujar pria dengan kemeja batik yang berdiri di depan. “Indonesia punya potensi yang besar, sebagaimana bisa kita lihat di sini. Hanya saja, potensi-potensi yang sudah ada tidak berkolaborasi satu sama lain, padahal kita membutuhkannya untuk menemukan kearifan lokal itu.”

Sepanjang sepuluh tahun perjalanan karir saya di industri kreatif, sudah tak terhitung lagi banyaknya saya mendengar pernyataan seperti itu. Terlalu banyak malah, sampai-sampai pada akhir pekan minggu lalu, saya membuat generator notulensi rapat otomatis. Idenya sangat sederhana: tak ada yang pernah berubah dalam diskusi-diskusi tersebut, jadi kenapa tidak kita gunakan saja sebuah templat, ubah kata-katanya sedikit dan selesai?

Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat saya jengkel. Dan bukan mengenai industri kreatif yang menjadi fokus.

Baca juga: Anak-anak Mestinya Diajarin Jadi Entrepreneur!

RelatedPosts

Sekali-kali Kita Keluar dari Zona Mimpi

Libra Cryptocurrency: Is it a Good Crypto (or Not)?

Setiap Masalah Dimoralisasi

1-CFjZqNAOa93tj3gLHH9VKg

Indonesia, sebagaimana saya duga juga terjadi di banyak negara berkembang lainnya, menderita penyakit gabungan unik antara rendah diri di satu sisi dan kebanggaan nasional yang berlebihan di sisi lainnya.

Satu hal yang jelas: kita senang menjelek-jelekkan diri kita sendiri. Yang mana sebab itu, setiap masalah ekonomi yang ada dikaitkan dengan masalah ‘budaya’ dan ‘karakter’ moral.

Kita tak punya budaya membaca. Televisi kita kurang berkualitas. Kita terlalu konsumtif. Kita malas. Kita egois, tidak profesional, berwawasan sempit, murahan, dangkal otak, buta, dan menyebalkan. Sebutlah terus.

Namun, entah bagaimana caranya: kita senang sekali memproklamirkan bahwa kita punya potensi. Dan banyak sekali! Coba lihat orang-orang Indonesia di sana yang melakukan hal-hal keren itu, bukankah itu super keren? Ya Tuhan, Indonesia keren!

Baca juga: Leader Tanpa Follower? Kayak Orang Gila!

Dan hal itu bukan sekedar basa-basi. Dua wajah kita yang cenderung untuk memuji sekaligus menjatuhkan Indonesia di waktu bersamaan menjulur hingga keluar dari tangan-tangan pemerintah. Segenap kampanye Jokowi berpusar pada gagasan mengenai revolusi mental. Pendidikan sepenuhnya adalah mengenai pembangunan karakter. Komoditas panas dalam pemerintahan pasca-SBY adalah “ketegasan” — tanda orang-orang kuat.

Sampai-Sampai Terlalu Abstrak untuk Dipahami

Anda tentunya yakin anak-anak Anda akan menjadi seperti santo jika kita memberi mereka dua belas jam pelajaran agama per minggunya, ‘kan? Dan bahwa produk seni pop kita akan menjadi besar jika kita berkolaborasi untuk mengeksploitasi lebih banyak wayang? Tunggu, untuk apa kita meledakkan kapal-kapal asing itu yah?

Pendekatan moralistik cenderung mereduksi rasionalitas menjadi pandangan-pandangan yang abstrak, menggeneralisir, dan tak terukur, dan orang-orang menjadi sulit untuk tidak menyepakatinya karena khawatir akan dilabeli sebagai orang kafir.

Begitu tidak ada ruang untuk pengukuran yang objektif, tak ada ruang pula untuk analisis sungguhan. Riset yang ada terdiri, sebagian besar, atas wawancara, diskusi kelompok, dan semua pertemuan-pertemuan komunitas yang populer tersebut, dan buku-buku yang ditulis dari semua hal itu.

Saya tak percaya pada banyak orang. Dan Anda juga seharusnya tidak.

Karena ketika banyak orang berkumpul membentuk kelompok, hanya satu hal yang bisa terjadi: pemikiran kelompok. Dan, sebagaimana setiap desainer yang baik pastinya ketahui, pemikiran kelompok atas gagasan abstrak merupakan antitesis dari desain.

Baca juga: Kenapa Saya Tak Lagi Percaya Pada Pembangunan Karakter (2)


Artikel ini ditulis oleh Bonni Rambatan dan diterjemahkan oleh Ahmad Alkadri dan sebelumnya dimuat di sini.

Image header credit: picjumbo.com

Share this:

  • Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Suka Memuat...
Tags: polapikirrombakpolapikir
Previous Post

The First Secret of Design is… Noticing

Next Post

Kenapa Saya Tak Lagi Percaya pada Pembangunan Karakter (2)

Next Post
Kenapa Saya Tak Lagi Percaya pada Pembangunan Karakter (2)

Kenapa Saya Tak Lagi Percaya pada Pembangunan Karakter (2)

No Result
View All Result

Yang Terbaru

  • Pindah Kerja? Ini Cara Beradaptasi di Lingkungan Baru
  • Apa sih Arti OJT dalam Dunia Kerja?
  • Arti KPI dalam Dunia Kerja: Contoh dan Penjelasannya!
  • Daftar Link untuk Tes Psikologi Online, Cobain yuk!
  • Ciri-Ciri Orang Depresi karena Bekerja
Ziliun

Media yang menemani perjalanan anak muda untuk menghadapi kehidupan dan memasuki dunia kerja, serta mendorong dan memotivasi anak muda untuk menjadi versi terbaik diri mereka.

  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kerja Sama

Ruang & Tempo Coworking Space

Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No. 8, Jakarta Selatan 12210

Bikin kontenmu sekarang!

© 2021 Ziliun All rights reserved.

Ziliun

  • Inner Space
  • Workipedia
  • Money Talks
  • What’s Hypening
  • Event & Academy
  • Bikin Kontenmu Sekarang!

© 2021 Ziliun All rights reserved.

 

Memuat Komentar...
 

    %d blogger menyukai ini: