Mengapa obsesi Indonesia terhadap “kearifan lokal” dan “pendidikan karakter” sangat salah sasaran.
“Kita harus menemukan kearifan lokal,” ujar pria dengan kemeja batik yang berdiri di depan. “Indonesia punya potensi yang besar, sebagaimana bisa kita lihat di sini. Hanya saja, potensi-potensi yang sudah ada tidak berkolaborasi satu sama lain, padahal kita membutuhkannya untuk menemukan kearifan lokal itu.”
Sepanjang sepuluh tahun perjalanan karir saya di industri kreatif, sudah tak terhitung lagi banyaknya saya mendengar pernyataan seperti itu. Terlalu banyak malah, sampai-sampai pada akhir pekan minggu lalu, saya membuat generator notulensi rapat otomatis. Idenya sangat sederhana: tak ada yang pernah berubah dalam diskusi-diskusi tersebut, jadi kenapa tidak kita gunakan saja sebuah templat, ubah kata-katanya sedikit dan selesai?
Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat saya jengkel. Dan bukan mengenai industri kreatif yang menjadi fokus.
Baca juga: Anak-anak Mestinya Diajarin Jadi Entrepreneur!
Setiap Masalah Dimoralisasi
Indonesia, sebagaimana saya duga juga terjadi di banyak negara berkembang lainnya, menderita penyakit gabungan unik antara rendah diri di satu sisi dan kebanggaan nasional yang berlebihan di sisi lainnya.
Satu hal yang jelas: kita senang menjelek-jelekkan diri kita sendiri. Yang mana sebab itu, setiap masalah ekonomi yang ada dikaitkan dengan masalah ‘budaya’ dan ‘karakter’ moral.
Kita tak punya budaya membaca. Televisi kita kurang berkualitas. Kita terlalu konsumtif. Kita malas. Kita egois, tidak profesional, berwawasan sempit, murahan, dangkal otak, buta, dan menyebalkan. Sebutlah terus.
Namun, entah bagaimana caranya: kita senang sekali memproklamirkan bahwa kita punya potensi. Dan banyak sekali! Coba lihat orang-orang Indonesia di sana yang melakukan hal-hal keren itu, bukankah itu super keren? Ya Tuhan, Indonesia keren!
Baca juga: Leader Tanpa Follower? Kayak Orang Gila!
Dan hal itu bukan sekedar basa-basi. Dua wajah kita yang cenderung untuk memuji sekaligus menjatuhkan Indonesia di waktu bersamaan menjulur hingga keluar dari tangan-tangan pemerintah. Segenap kampanye Jokowi berpusar pada gagasan mengenai revolusi mental. Pendidikan sepenuhnya adalah mengenai pembangunan karakter. Komoditas panas dalam pemerintahan pasca-SBY adalah “ketegasan” — tanda orang-orang kuat.
Sampai-Sampai Terlalu Abstrak untuk Dipahami
Anda tentunya yakin anak-anak Anda akan menjadi seperti santo jika kita memberi mereka dua belas jam pelajaran agama per minggunya, ‘kan? Dan bahwa produk seni pop kita akan menjadi besar jika kita berkolaborasi untuk mengeksploitasi lebih banyak wayang? Tunggu, untuk apa kita meledakkan kapal-kapal asing itu yah?
Pendekatan moralistik cenderung mereduksi rasionalitas menjadi pandangan-pandangan yang abstrak, menggeneralisir, dan tak terukur, dan orang-orang menjadi sulit untuk tidak menyepakatinya karena khawatir akan dilabeli sebagai orang kafir.
Begitu tidak ada ruang untuk pengukuran yang objektif, tak ada ruang pula untuk analisis sungguhan. Riset yang ada terdiri, sebagian besar, atas wawancara, diskusi kelompok, dan semua pertemuan-pertemuan komunitas yang populer tersebut, dan buku-buku yang ditulis dari semua hal itu.
Saya tak percaya pada banyak orang. Dan Anda juga seharusnya tidak.
Karena ketika banyak orang berkumpul membentuk kelompok, hanya satu hal yang bisa terjadi: pemikiran kelompok. Dan, sebagaimana setiap desainer yang baik pastinya ketahui, pemikiran kelompok atas gagasan abstrak merupakan antitesis dari desain.
Baca juga: Kenapa Saya Tak Lagi Percaya Pada Pembangunan Karakter (2)
Artikel ini ditulis oleh Bonni Rambatan dan diterjemahkan oleh Ahmad Alkadri dan sebelumnya dimuat di sini.
Image header credit: picjumbo.com