Young people are so full of themselves; they have this constant need to brag that they have the best jobs and views toward life.
Makanya antar kelompok suka saling ngomongin dan meremehkan. Seperti yang terjadi antara full-time employee dan freelancer.
Saya sendiri pernah mendengar teman saya, seorang karyawan penuh waktu di suatu BUMN, ngomong ke teman saya, seorang pekerja lepas, “Sampai kapan, mau serabutan gini?”
Kemudian, teman saya, seorang pekerja lepas yang lain, juga pernah berkata dengan nada yang gak enak ke seorang karyawan penuh waktu, “Kasihan ye, waktunya diatur sama kerjaan.”
Baca juga: Seberapa Sih Value Diri Gue dan Pekerjaan Gue?
Dua kelompok ini emang jarang klop. Mereka yang memilih bekerja di korporat cenderung merasa para freelancer itu hidupnya gak ideal. Bahkan ada yang ngerasa, freelancer itu orang-orang yang gak grow up. Ya kalau grow up, mestinya memang siap dong dengan keharusan kerja di kantor pagi sampe sore. Di dunia orang dewasa, memang gak akan banyak waktu luang atau fleksibilitas.
Sementara, freelancer menganggap para karyawan penuh waktu sebagai orang-orang yang gak punya hidup, miserable, budak kapitalis. Belum lagi tiap hari ke kantor pakai pakaian rapi dan necis, gak bangetlah bagi anak freelancer. Anak freelancer merasa mereka berjiwa muda dan bebas, dan bisa menghasilkan uang dengan skill yang mereka punya, gak harus dengan bergabung ke dalam suatu entitas.
Baca juga: Kapan Seseorang Disebut Dewasa?
***
Sadar gak kalian, pembaca, bahwa yang saya ceritakan di atas itu sangat banyak mengandung stereotipe? Seakan-akan, yang namanya pekerja kantoran itu pasti gak bahagia. Seakan-akan, freelancer itu pasti orang-orang rebel yang anti-kemapanan.
Padahal, di zaman sekarang, stereotipe-stereotipe itu udah gak berlaku. Saya sering menemukan pekerja penuh waktu yang dengan bahagia menghabiskan waktu untuk side project di malam hari atau di akhir pekan. Saya juga banyak menemukan freelancer yang gayanya necis dan profesional, karena harus ketemu klien setiap hari. Justru, banyak pekerja kantoran yang work-life balance-nya sangat baik, sehingga waktunya gak melulu diatur sama kerjaan, dan banyak juga pekerja lepas yang justru bekerja 24/7 untuk memenuhi deadline dan target pribadi.
Memang sih, susah menahan godaan untuk gak nge-judge profesi atau kelompok lain yang berbeda dari kita. Tapi, udah 2015 nih, masa kerja full-time versus jadi freelancer aja masih dipermasalahin?
Baca juga: Be So Good They Can’t Ignore You!
Header image credit: lifehack.org
Comments 1