Cerita Perempuan di Dunia Kerja: Tantangan dan Potensi yang Masih Terlewatkan! – Ketika ngomongin cerita perempuan di dunia kerja, kita tentu perlu mengaitkannya sama peluang dan potensi yang belum maksimal. Alasannya klasik. Selama ini, masih ada banget tuh, stereotip kalo perempuan cuma cocok kerja di bidang tertentu aja.
Padahal, yang namanya bidang pekerjaan itu, harusnya gak mengenal diskriminasi gender. Selama punya kemampuan, kesempatan buat perempuan dan laki-laki harusnya bisa sama besar dong, ya?
Sayangnya, masih banyak perempuan yang justru harus terus usaha ekstra buat ngebuktiin diri, bahkan buat “masuk” ke male-dominated industries. Misalnya, pekerjaan-pekerjaan di bidang teknik, sains, teknologi, otomotif, penerbangan, atau transportasi. Faktanya, minimnya angka keterlibatan perempuan di bidang-bidang tersebut bukan karena mereka gak mampu, lho. Tapi, lebih karena adanya stereotip itu tadi dan kesempatan yang emang masih minim!
Padahal kalo kita mengacu sama UN.org, keterlibatan perempuan di bidang STEM–salah satu bidang yang juga masih didominasi laki-laki–bisa berpotensi ngasih kontribusi positif ke pertumbuhan ekonomi global dan bisa mempercepat pencapaian sustainable development 2030. Nah, kan!
So, buat ngebahas topik ini, Ziliun berkesempatan buat sharing bareng Rachel Saputro, program manager DeepMind, AI company di bawah naungan Google dan mentor di WomenWorks. Dari Rachel, kita bakal punya insight terkait gimana sih keterlibatan perempuan di bidang STEM. Terus apa aja tantangan yang masih harus perempuan hadapi buat berkembang di bidang yang sayangnya masih “penuh” sama laki-laki ini.
Menurut Rachel, apa sih isu utama dari male-dominated industries ini?
Sebenarnya definisinya bisa lebih luas. Bukan cuma sekadar “Oh, jumlah laki-lakinya lebih banyak di industri STEM, sedangkan jumlah perempuannya cuma berapa belas orang.” Tentunya gak sesempit itu, ya. Masih banyak aspek lainnya yang bisa kita bahas.
Misalnya, tentang kenapa sih perempuan akhirnya sulit punya kesempatan buat bisa jadi engineer, pilot, researcher, etc? Why? That’s the question we need to solve. Apa pandangan yang perlu masyarakat dan pelaku industri perbaiki dari ini? Jadi, male-dominated industries itu sebenarnya juga bicara soal gimana caranya kita ngurangin bias gender di dunia kerja.
Terus, apa lagi tantangan lain yang juga perlu segera ada solusinya?
Selain bicara soal angka, kita juga harus ngebahas tentang apakah perempuan bisa dapat promosi atau becoming a leader? Jadi, bukan cuma yang penting banyak perempuannya, tapi apakah potensi mereka bener-bener bisa dapat spotlight? Dan apakah perusahaan bisa aware sama potensi tersebut?
Terus juga, soal “adjective” pun bisa jadi challenge tersendiri. Misalkan, kata “karismatik” dan “authority” biasanya ditujukan buat laki-laki. Padahal gak ada dasar atau fundamental reason kata sifat tersebut ditujukan ke mereka.
Di sini ada bias, karena mereka laki-laki so it seems they deserve more to get those titles. Perempuan harus bisa speak up buat asking for definition, sebenarnya apa sih trait atau karakter yang mengarah ke “karismatik” atau “authority”? Kalo persoalannya cuma karena gender, so women should stand up buat dapetin title itu juga. Dan ngomongin stereotype perempuan di dunia kerja, kenapa akhirnya bisa langgeng, karena karena kita tumbuh di environment yang “minta” kita buat believe in those stereotypes.
Ini terus berlanjut hingga kita dewasa, bahkan di level pemerintahan pun kita bisa liat ada berapa sih anggota DPR RI perempuan? Pasti secara angka gak sebanyak anggota DPR RI laki-laki. Yap, cerita perempuan di dunia kerja bisa sekompleks itu.
Jadi sebetulnya, apa sih yang bisa kita lakuin buat ikut nge-resolve isu perempuan di dunia kerja Ini?
I believe kita harus punya data dulu. Data tentang berapa sih jumlah perempuan yang kerja di bidang STEM, dan di bidang male-dominated industries lainnya. Dari sana, kita bisa punya acuan atau landasan buat ngambil kebijakan.
Misalnya, in a place I work at, yaitu DeepMind yang merupakan bagian dari Google, from 140.000 pegawai Google, 40%-nya adalah perempuan. Dari data ini kan bisa di-break down lagi, berapa banyak yang menduduki posisi manager, VP, dan director.
Jadi, ketika kita mau ngelakuin action, kita udah ada fundamental information yang kuat. I wish di Indonesia pun bisa ada data-data seperti itu. Contohnya, ada berapa sih jumlah jurnalis perempuan? Ada berapa female CEO di startup? Dan ada berapa jumlah perempuan yang menduduki posisi strategis di pemerintahan dari pusat hingga daerah? Kalo udah punya datanya, I do believe perumusan kebijakannya bisa lebih jelas.
Gimana dengan perempuannya sendiri, apa aja yang bisa perempuan lakukan untuk menghadapi tantangan ini?
Perempuan harus nyari mentor sesama perempuan buat dapat bimbingan dan juga inspirasi soal gimana bisa berkembang di dunia kerja. Bisa dari atasan, expert, atau sesama rekan kerja. Go find one, because it is very important.
Terus, selain nyari mentor perempuan, cari juga mentor laki-laki, karena kita bisa “contek” trait mereka. Misalnya, laki-laki tuh di dunia kerja cenderung lebih percaya diri, nah kita bisa minta cara supaya kita juga bisa percaya diri kayak mereka. Dan soal percaya diri, perempuan di dunia kerja harus punya itu. Speak up kalo kita punya ide atau gagasan. Percaya kalo kita bisa dan bisa dapat peluang yang sama. Tapi, kita gak harus kok try hard buat fit in. Jadilah diri sendiri and be proud of who you are.
Soal ini, ada pengalaman menarik yang mau aku bagiin. Aku pernah jadi leader di sesi mentoring yang anggotanya dua perempuan dan dua laki-laki. Terus, pas ada diskusi tentang concern di dunia kerja, ada yang menarik, nih. Dua perempuan tadi kompak ngejawab kalo mereka suka ngerasa gak good enough di kerjaannya sedangkan dua laki-laki nyebutin concern lain. Ini artinya, yes perempuan harus lebih termotivasi buat lebih percaya diri dan yakin kalo kita udah ngelakuin yang terbaik buat pekerjaan kita.
Sebenarnya, perempuan juga bisa kok bersaing di male-dominated industries, tapi selama ini memang stereotip dan bias gender-nya masih kuat banget. Dan itu yang harus jadi persoalan kita bersama.
Buat semua perempuan di luar sana, kalian harus tetep semangat buat ngembangin skill. Dan terus perluas networking supaya potensi kalian bisa makin terlihat. Gak ketinggalan, buat stakeholders pun semoga bisa bekerja sama dalam nyelesain isu ini. Termasuk perusahaan supaya ngilangin bias gender di dunia kerja. Jadi, gak bisa cuma dari perempuan yang stand up buat isu ini, harus ada dukungan dari semua pihak. Makin banyak yang terlibat, makin cepat juga isunya bisa terselesaikan.