“We haven’t successfully integrated technology into our development thinking”. – Dino Patti Djalal
Selama ini kita mengenal sosok Bapak Dino Patti Djalal sebagai seorang diplomat ternama. Ternyata, walaupun ranah pekerjaannya kebanyakan terkait dengan hubungan internasional dan kebijakan luar negeri, Pak Dino sangat sadar akan pentingnya teknologi.
Di workshop mengenai “Impact of Technology and Innovation on Youth Unemployment” yang diselenggarakan oleh Indonesian Youth Diplomacy Sabtu (23/05) lalu, Pak Dino bilang kalau selama ini Indonesia, dengan segala potensinya, dikatakan akan menjadi negeri raksasa. Sebenarnya, what will make it a reality is technology.
Sayangnya, menurut Pak Dino, “We haven’t successfully integrated technology into our development thinking”.
Penerapan teknologi di negara kita saat ini masih sekadar sebagai aksesori. Ya seperti yang Pak Dino bilang, penerapannya belum terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan.
Baca juga: Mimpi Anak Pemulung
Padahal, menurut Pak Dino, kalau teknologi dijadikan bagian yang terintegrasi dengan pembangunan, teknologi bisa menjadi kunci untuk menghapuskan kemiskinan, membuka banyak peluang, dan meningkatkan produksi.
Untuk dapat mencapai hal tersebut, harus ada suatu sistem di mana inovasi adalah pusatnya. Tapi, inovasi saat ini baru sekadar menjadi istilah populer saja.
“You don’t promote innovation just by talking. Innovation grows because of ecosystem”.
***
Seorang peserta bertanya ke Pak Dino, bagaimana kita menerapkan teknologi untuk kemajuan bangsa, sementara infrastrukturnya belum siap?
Jawabnya Pak Dino sih, bukan berarti kalau infrastrukturnya tidak ada, lalu berarti kita gak tech-ready.
Baca juga: Kolaborasi Atau Mati
Pak Dino memberi contoh, yaitu apa yang dilakukan walikota Bandung, Ridwan Kamil atau yang akrab dipanggil Kang Emil. Beberapa waktu lalu, Pak Dino sempat berada di Korea Selatan bersama Kang Emil. Selama di Korea, Kang Emil bisa memonitor kondisi kota Bandung dengan mudah melalui tab-nya. Lewat inovasi-inovasi yang dilakukannya, Kang Emil terpilih menjadi chairman untuk Smart City Network of Asia-Africa.
Artinya apa? Artinya, jika ada orang-orang yang imajinasi dan political will seperti Kang Emil, maka infrastruktur bisa saja dibangun dengan sangat cepat untuk mendukung penerapan teknologi tersebut.
***
Salah satu yang paling menarik dari sesi Pak Dino adalah saat beliau bilang bahwa, dari pengalamannya yang cukup banyak di pemerintahan, ia sampai pada suatu kesimpulan menarik: resep untuk Indonesia yang lebih maju bukanlah ideologi atau visi grandeur seperti yang biasa disampaikan Soekarno di pidato-pidatonya.
Justru, yang bisa memajukan Indonesia adalah apapun yang easier, faster, and cheaper, alias lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Kalau dalam segala bidang Indonesia bisa lebih mudah, cepat, dan murah, maka negara ini akan otomatis jadi jauh lebih maju (dan kita bisa simpulkan kalau teknologi tentu saja bisa mencapai itu, kan?)
Baca juga: Tentang Menemukan Alasan dan Bikin Perubahan
Selain itu, ada satu lagi jawaban yang obvious atas segala permasalahan di negeri ini, yaitu meritokrasi.
Kata Pak Dino, kurang tertanamnya meritokrasi di Indonesia menyebabkan “a lot of smart people don’t get promoted”. Padahal, orang-orang pintar di negeri ini ingin berkontribusi dan melayani, tapi terhambat akan sistem yang masih mementingkan senioritas, apalagi nepotisme.
“I haven’t seen any policy instilling meritocracy in government,” kata Pak Dino.
So, udah waktunya gak sih kita berubah? Kuncinya ada di teknologi dan meritokrasi :).
Header image credit: valleyway.gawker.com