Hari Film Nasional yang diperingati pada tanggal 30 Maret 2015 lalu meninggalkan kesan tersendiri. Bukan hanya peringatan biasa, tetapi diharapkan menjadi kebangkitan kreativitas perfilman Indonesia.
Industri kreatif merupakan sebuah industri yang kian berkembang di tanah air, bahkan menjadi salah satu lokomotif utama perekonomian alternatif Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi – JK. Tingginya jumlah pemuda di Indonesia juga mendukung pertumbuhan pesat pasar industri kreatif di tanah air. Film, sebagai salah satu elemen industri kreatif yang sangat populer di masyarakat, bisa dijadikan lokomotif dalam upaya meningkatkan potensi tersebut.
Sudah tepat rasanya jika kegiatan utama Hari Film Nasional tahun ini mengusung tema Ayo! Film Indonesia. Di tengah sikap apatis masyarakat kita terhadap karya perfilman Indonesia, misalnya dengan memberikan pendapat “Ah, film Indonesia isinya hanya horor-horor nggak jelas” atau “Aduh, nggak mutu, mending gue nonton film Hollywood aja deh” sesungguhnya sangat banyak yang peduli dan sadar bahwa perfilman Indonesia harus bangkit dan dapat menjadi kebanggaan bangsa.
Acara peringatan Hari Film Indonesia di Istana Negara semalam (30/03/2015) merupakan momen yang sangat berharga, karena untuk pertama kalinya film kembali masuk ke istana negara setelah beberapa dekade. Pada acara peringatan tersebut, diputar sebuah video infografik yang dibawakan oleh Dian Sastrowardoyo.
Baca juga: #ziliun17: Film Indonesia Pemenang Award Internasional
Isi videonya memuat berbagai masalah yang terjadi di industri perfilman kita. Mulai dari masalah di fase pra-produksi, hingga saat penayangan di bioskop, serta berbagai fakta miris perfilman kita jika dibandingkan dengan negara lain. Dengan jumlah penduduk yang 3x lebih sedikit daripada penduduk Indonesia, Korea Selatan mampu menghasilkan sekitar Rp 6,6 Milyar ke dalam GDP atau Pendapatan Domestik Bruto dari dunia perfilman.
Tentunya dengan lebih banyaknya penduduk, diharapkan lebih banyak kreativitas yang muncul. Namun, kendala tentunya selalu muncul, bukan hanya dari individu namun juga dari adanya peraturan pajak yang begitu rumit untuk membuat sebuah film, pendidikan perfilman yang kurang, serta banyak hal lainnya yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan. Saat ini, Indonesia juga baru memiliki 1000 layar bioskop, padahal jumlah ideal layar bioskop di tanah air adalah sekitar 5000-6000 layar.
Menumbuhkan industri perfilman tanah air, tentu bukan perkara yang mudah. Terutama bila kita menyadari bahwa ada banyak hal baik teknis maupun non-teknis yang perlu digerakkan bersama dalam upaya pengembangan industri perfilman kita. Peningkatan kualitas SDM pun tentu perlu menjadi fokus bersama.
Baca juga: Melawan Pembajakan Dengan Model Bisnis yang Tepat
Namun, kita harus percaya kalau kita masih punya peluang. Presiden Joko Widodo sendiri di dalam pidatonya pada Hari Film Nasional menyatakan bahwa akan ada dukungan yang diberikan oleh pemerintah, baik dalam insentif pengurangan pajak maupun dukungan dalam hal pendidikan perfilman. Di akhir pidatonya pun, Jokowi menyuarakan untuk Ayo! Bangkit Film Indonesia.
Satu hal yang dapat diambil dari kegiatan Hari Film Nasional ini adalah bahwa kita butuh lebih banyak karya berkualitas dalam perfilman. Kita butuh juga dukungan dari pemerintah dalam mengembangkan berbagai ide brilian yang dimiliki para calon sineas masa depan di Indonesia. Namun, yang paling penting adalah, kita butuh inisiatif dari diri sendiri untuk menghargai dan terus mendukung perfilman Indonesia. Ini bukan tanggung jawab pihak-pihak tertentu, tapi menjadi tugas bersama untuk membanggakan Indonesia.
Jadi… Ayo Film Indonesia!
Baca juga: 3 Things “Moneyball” Teaches Us About Innovation
Header image credit: installitdirect.com