#Ziliun30 adalah rangkaian 30 profil tech entrepreneur yang berusia di bawah 30 tahun, yang berpikir dan bermimpi besar, melihat masalah sebagai peluang, menjunjung tinggi kolaborasi, memahami kegagalan sebagai bagian dari proses, serta membuat terobosan strategi marketing dalam bisnis. #Ziliun30 merupakan kerjasama Ziliun.com dengan the-marketeers.com selama September 2014.
Siapa menyangka kalau Arfi’an Fuadi dan M. Arie Kurniawan yang hanya lulusan SMK menyabet gelar juara pertama pada ajang “3D Printing Challenge” yang diadakan General Electric dan GrabCAD dengan menyisihkan 700 peserta lain dari 56 negara. Ia bahkan berhasil mengalahkan peserta yang menyandang gelar Ph.D dari Swedia dan seorang insinyur lulusan Oxford yang menyabet juara dua dan tiga.
Arfi’an dan Arie berhasil mendesain jet engine bracket, salah satu komponen yang digunakan untuk mengangkat mesin pesawat terbang. Yang berbeda adalah jet engine bracket buatan mereka 84% lebih ringan dari komponen serupa yang pernah dibuat di dunia yaitu hanya 327 gram dari 2 kilogram komponen aslinya. Kata Arfi’an, minat yang besar terhadap desain engineering dan sektor manufaktur lah yang mendorong mereka untuk berprestasi.
Selama 5 tahun lebih perjuangan panjang dilalui untuk sampai ke titik ini. Sebelum mengikuti ajang perlombaan, mereka sudah dipercaya oleh banyak perusahaan asing untuk mendesain produk. Mungkin tak banyak yang tau kalau Arfi’an Fuadi dan M. Arie Kurniawan-lah yang mendesain ultralight aircraft untuk sebuah perusahaan di Amerika Serikat sana.
Baca juga: Jadi Pekerja Digital Kreatif, Mau?
Semua bermula dari himpitan ekonomi, Arfi’an mencoba berbagai macam pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari berjualan susu, jadi tukang tambal ban, sampai kerja sebagai percetakan foto pun ia jabanin. Terakhir sebelum memutuskan untuk membangun Dtech Engineering, ia bekerja sebagai penjaga malam di sebuah Kantor Pos. Saat itu ia punya mimpi besar, ingin mengubah hidupnya dan keluarga menjadi lebih baik.
Arfi’an sempat belajar desain menggunakan komputer yang dipinjami sepupunya. Karena ketertarikan, ia kemudian memutuskan untuk membeli komputer dengan gaji pertamanya, itu pun masih ditambah dengan tabungaan ayah dan sumbangan hardisk second dari saudaranya. Sebagai sampingan, ia mencoba menggarap beberapa pekerjaan yang ditawarkan pada situs-situs freelance.
Baca juga: Berhenti Mencari Ide Brilian
Waktu akhirnya menjawab. Arfi’an memutuskan untuk keluar dari Kantor Pos dan fokus pada dunia desain. Hampir semua project ia sanggupin. Dari bikin pretelan kecil-kecil kayak gantungan kunci, kaos tangan, sampai engine bracket dan ultralight aircraft. Saking banyaknya project yang masuk, akhirnya Arfi’an nambah tim buat ngebantu riset sama desain.
Dtech Engineering sendiri nggak ngasal untuk memproduksi produk-produknya. Semuanya adalah hasil riset, lalu di desain sedemikian rupa untuk menjadi produk yang kreatif dan inovatif. Bahkan nggak jarang mereka memanfaatkan limbah sekitar. Menyulap limbah jadi sesuatu yang punya nilai tinggi.
Kayak yang mereka pernah bikin ini, namanya Coco Pen. Sebuah pulpen ekslusif yang terbuat dari batok kelapa dan alumunium. Project Coco Pen ini dilempar oleh Arfi’an pada situs kickstarter.com dan mendapatkan dana sebesar $12,653. Produksinya di kota asal mereka, Salatiga. Kini, sudah 300 biji Coco Pen tersebar ke seluruh dunia, dan targetnya akan ada 500 Coco Pen yang akan diproduksi.
Baca juga: Hidup untuk bekerja, atau bekerja untuk hidup?
Puter Pen juga sempat diproduksi sama Dtech Engineering. Kalo Puter Pen ini pulpen yang bikinnya dari bahan titanium. Dibuka dengan cara diputar. Bedanya sama Coco Pen, Puter Pen ini nggak bisa dilepas dari badan pulpennya, bisanya diputar aja. Puter berasal dari Bahasa Jawa putar, disematkan sebagai nama pulpen ini. Indonesia banget namanya ya!
Memang pada mulanya semua dilakoni buat menutup kebutuhan hidup yang mencekik. Sekarang sih, uang bukan jadi tujuan utama. Arfi’an makin lama tertantang buat belajar hal baru, bikin dan nyiptain sesuatu yang baru. Katanya sih, peluang sama kesempatan terjun ke pasar global itu luas banget. Sayangnya cuman sedikit orang terjun kesana, alasannya klasik banget. Karena kebanyakan orang nggak mau usaha, maunya yang instan.
Arfi’an belajar banyak dari perusahaan besar yang ngasih order project ke mereka, dari gimana riset dan pengembangan perusahaan tersebut, penetapan standart kualitas dan kontrolnya, sampe gimana cara perusahaan-perusahaan memposisikan konsumennya.
Baca juga: Practice Doesn’t Make Perfect
Dari sekian banyak pencapaian yang udah diraih sama Arfi’an, satu yang masih jadi ganjalan. Rata-rata perusahaan di Indonesia nggak bisa nerima kerjasama dengan Dtech Engineering karena melihat background foundernya yang cuman lulusan SMK, dan bukan perguruan tinggi ternama. Tapi justu problem ini jadi keuntungan tersendiri buat mereka. Mungkin emang harus go international dulu baru deh pasar lokal ngikutin.
Arfi’an yang dari awal mendirikan Dtech Engineering cuman modal keras kepala, keinginan buat belajar sama anti mainstream ngebuktiin kalo pendidikan nggak jamin kita bisa jadi se-kreatif apa. Bisa ngapain dan bermanfaat buat apa.
Lewat apa yang udah mereka hasilin, Arfi’an sama Arie pengen ngajak anak muda buat lebih membuka mata untuk berbuat sesuatu di luar kebiasaan. Katanya, kerja nggak harus kantoran atau dapet gaji bulanan kayak pegawai pada umumnya. Asal punya niat sama mau kerja keras sih, apa aja bisa diraih kok. Soal uang, ntar juga bakal ngebuntutin sendiri. Coba aja.
Image header credit: kickstarter.com