The 20-something have no idea what they’re doing with their lives.
Kita tidak tahu apa yang sedang kita lakukan dengan hidup kita. Satu waktu kita menghabiskan separuh uang bulanan untuk klub malam, lalu merasa bersalah karenanya. Di waktu lain kita hanya makan mi instan tiga hari berturut-turut, tapi tetap bahagia dalam kelaparan.
Kita mengambil tawaran pekerjaan yang membayar kita dengan gaji tertinggi. Kita mengutuk jam-jam kerja yang panjang, tumpukan laporan yang tidak pernah habis, rekan kerja yang bodoh tapi berpikir dia pintar, dan atasan yang brengseknya luar biasa.
Lalu kita mengundurkan diri, menyerah menjadi budak kapitalisme. Lalu mengambil peluang bisnis apapun yang ada di depan mata. Lalu kita tidak sabar. Tidak ada struktur. Tidak ada teman. Tidak ada uang. Lalu kita kembali menjual diri ke korporasi.
Akhir pekan kita habiskan di tempat tidur. Atau kita isi dengan agenda sosial. Antara berkumpul dengan yang itu-itu saja, mendiskusikan hal yang sama, dari gosip artis paling hangat hingga nama-nama calon walikota Jakarta. Atau kalau bosan dengan teman lama, ikut komunitas, datang ke festival, menjadi sukarelawan acara apa saja.
Ada hari-hari di mana kita sangat malas, tidak bernyawa. Kalau punya uang, bisa langsung pelesir ke gunung atau ke pantai. Kalau tidak, ya unduh film terbaru saja. Menghabiskan 24 jam hanya bertengger di depan layar, lalu masuk kampus atau kantor esok harinya membawa-bawa kantung mata.
Kalau sedang serius kita membuat rencana jangka panjang, yang menjawab pertanyaan wawancara paling klise: lima tahun lagi mau jadi apa? Rencana itu kita tempel di dinding kamar dan kita pasang di layar ponsel pintar. Seminggu kemudian sudah lupa. Kalau ingat pun, ternyata realita tidak berjalan sesuai rencana.
Ya sudah, ikut arus saja.
Baca juga: Mental “Ya Iyalah”
Header image credit: fastcompany.com
Comments 1