Beberapa waktu lalu, gue dan beberapa orang sahabat memutuskan untuk meet up. Tujuannya supaya rehat sejenak dari skripsi. Quality time nih ceritanya. Bedanya, meet up kali ini ada aturannya: jangan ada seorang pun yang bahas skripsi. Menit-menit awal, kita semua taat rules. Bisa ngomongin topik apa aja. Yang penting jangan bahas skripsi! Simpel ya keliatannya? Tapi lama-lama susah juga, lho! Rasanya pengen garukin lidah yang gatel. Pengen ngelanggar aturan. Pengen ngeluarin apa yang ketahan di pikiran.
Ketika ada seorang yang keceplosan cerita tentang dosen pembimbing dan ujungnya bahas skripsi, yang lain jadi semangat ngobrolin permasalahan skripsi masing-masing. Di situ akhirnya kami malah ngomongin apa yang seharusnya gak dibahas. Semua orang melanggar aturan tapi sisi baiknya justru kami jadi saling membantu satu sama lain. Di situ gue ngeh; kami semua dikuasai alam bawah sadar.
Baca juga: ‘6 Stops’ You Must-to-Do, If You Want to be More Productive
Cerita gue tadi sama kaya orang yang ingin terbebas dari stress kerja. Kalo lo menghindari obrolan tentang kerja karena stress, bukan artinya stress itu akan hilang. Stress tadi hanya berada di luar lingkaran. Kalo ada trigger sedikit aja (contohnya temen gue yang keceplosan tadi), justru stress yang ada di luar lingkaran akan masuk ke dalam dan membuatnya semakin menggelembung hingga akhirnya pecah. “If you actually are trying to become great at something, it’s probably on your mind all the time. It’s very hard to love something and not be working on it or talking about it.”, begitu kata Danielle Morrill, CEO dari Mattermark, sebuah perusahaan konsultasi bisnis yang juga menciptakan berbagai aplikasi untuk mempermudah pekerjaan.
Udah jelas kalo lo pengen sukses dalam karir, lo gak bisa memisahkannya dari kehidupan. Seakan antara work/life balance, kita harus memilih mau work atau life. Seakan salah satu dari dua pilihan tersebut adalah suatu hal yang negatif (biasanya yang negatif adalah si ‘work’, kasian amat yak work-nya). Kaya kalo di seminar, kadang ada yang tanya gimana caranya menyeimbangkan antara karir dan kehidupan. Padahal work dan life ini bukan suatu hal yang terpisah. Mereka sama karena satu kesatuan. Pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, bukan saling bersaing satu sama lain.
Baca juga: 3 Hal yang Musti Lo Lakukan Ketika Lelah Berjuang
Pernah suatu kesempatan, gue lagi jalan kaki buat bungkus lauk untuk makan siang dan ketemu sama seorang Ibu yang kerjanya nyapu jalanan aspal. Daerah yang gue lewati emang banyak banget pohon rindangnya. Gue mengamati sampah-sampah yang disapunya kebanyakan daun-daun kering, beberapa puntung rokok yang tinggal separuh, dan sampah-sampah sedotan juga bungkus makanan yang dibuang sembarangan. Tiba-tiba gak tau kenapa gue pengen ngobrol sama si Ibu ini, apa alasan beliau memilih pekerjaan jadi penyapu jalanan. Si Ibu tadi menjawab, “Saya bisa apa, nak. Saya hanya bisa menyapu. Yang penting tahu kalo hidup saya berguna buat orang lain. Saya mencintai pekerjaan saya”.
Jujur jawaban singkat ibu tadi membuat gue shock. Sekarang gue paham akan arti nilai dari sebuah pekerjaan dari sudut pandang yang lain. Gue sangat berterima kasih sama si Ibu penyapu jalanan, dan memberikan nasi yang tadi dibeli karena gue gak pengen si Ibu ngerasa gue mengasihani beliau dengan memberinya uang (karena jelas-jelas ibu tadi bukan pengemis).
Baca juga: See The Failure as a Training
Pertanyaan yang muncul mengenai work/life balance akan muncul kalo lo belum mencintai pekerjaan atau hidup yang seharusnya lo jalani. Kalo lo mencintai, makna kerja akan lebih dari sekedar bekerja, dan makna hidup akan lebih dari hidup itu sendiri. Mungkin lo menjadi tidak suka dengan apa yang dilakukan karena pengaruh dari lingkungan sekitar.
Contoh sederhananya banyak yang bilang “The Others hates Monday” dan “Thanks God It’s Friday”. Ini agak konyol karena menurut pendapat gue, kalo Senin gak datang dan ngerasain libur terus, kapan nanti gajiannya? Dan menurut gue, semua hari adalah hari baik, termasuk hari Jumat. Jadi konsep work/life balance adalah suatu hal yang kuno. Keseimbangan hidup pada masa modern bisa didapatkan jika menemukan nilai dalam makna hidup yang lo jalani sendiri.
Baca juga: Cita-cita: Mati Dikenang Menjadi Nama Jalan