“ A job is a job. It’s a way wo pay for a living, but that’s it. Don’t let it define your happiness. You work to live, not live to work. Work on what makes you happy.”
Saya menemukan satu quote sederhana saat sedang berselancar di dunia maya. Tertampar! Itu yang ingin saya katakan pertama kali. Kebetulan, saya sedang merasakan jenuh, berada di tempat yang terlampau nyaman bagi saya. Akibatnya, pikiran saya mulai berkecamuk dan memunculkan pertanyaan “Apakah memang seperti ini dunia kerja yang saya impikan?”.
Saya merenungi hidup yang terus berputar. Melewati setiap fase yang berbeda, yang tentu saja memberikan tantangan tersendiri dalam hidup. Saat dulu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya masih bisa berandai untuk bisa bermimpi menjadi arsitek. Masuk d bangku SMP, saya mengejar cita-cita dengan masuk ke STM, sayangnya saya tak boleh masuk jurusan arsitek. Dan saat STM, saya menyadari bahwa hidup kita tidak bisa kita kendalikan sendiri. Orang lain ikut andil dan selalu ikut memberikan kontribusi terhadap segala pengambilan keputusan di hidup kita.
Baca juga: Sudahkah Kita Menjadi Designer dan Developer yang Baik Saat Berkolaborasi?
Masuk ke dunia kerja, saya menemukan beberapa part yang menurut saya tepat dan kurang tepat dengan diri saya. Ya, dunia kerja mengajarkan tentang banyak hal. Bukan hanya tentang bagaimana mengaplikasikan apa yang telah kita pelajari di bangku sekolah. Terlalu sempit untuk memahami konteks tersebut. Karena sejatinya, dunia kerja juga mengajarkan tentang bagaimana seharusnya saya menjalani hidup. Tentang bagaimana saya mengerti bahwa hidup itu dinamis, bukan statis.
Terjun dan masuk di dunia kepenulisan yang mewajibkan saya untuk menulis sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsentrasi yang saya ambil sewaktu saya masih sekolah. Bahkan, dunia kepenulisan belum pernah terpikir akan menjadi jalan karir saya sebelumnya. Karena saya bermimpi untuk bisa menjadi seorang arsitek. Meski demikian, dunia kerja terus menunjukkan andilnya untuk hidup yang saya jalani dan saya tekuni. Tentang sikap ‘penerimaan’ yang jauh lebih penting dari pada sikap terus menuntut kehidupan yang tidak ada habisnya untuk terus dituntut.
Baca juga: Modal Aja Nggak Cukup, Startup Juga Butuh Company Values
Dunia yang saya jalani terus bergulir seiring berjalannya waktu. Dan semuanya menghadapkan saya pada pertanyaan (lagi) tentang: “kamu hidup untuk bekerja atau bekerja untuk hidup?” dan “apakah bekerja harus sesuai dengan passion atau membiarkan waktu mengantarkan kita ke rezeki yang terbaik bagi diri kita?” Dulu, pertanyaan-pertanyaan ini saya jawab dengan sangat tegas bahwa sejatinya bekerja itu harus sesuai dengan passion dan bidang yang kita minati. Supaya kita bisa terus produktif dalam mengerjakan apa yang seharusnya kita selesaikan.
Tetapi, ekspektasi dan realita harus kembali saya tegaskan bahwa nyatanya, hidup itu soal perspektif. Sudut pandang kita terhadap hidup yang kita paksakan untuk bisa sesuai dengan harapan kita, harus kembali kita luruskan. Dunia kerja itu bermacam-macam. Dan satu hal, mencari “rumah” untuk bidang yang kita sukai itu tidak mudah. Mau tidak mau, kita sendirilah yang harus kembali tegas terhadap diri kita sendiri.
“Apakah kita cukup pantas menemati rumah impian kita, ataukah kita harus realistis bahwa rumah yang bisa menerima kita bukanlah rumah yang kita impikan?”
Baca juga: 3 Hal yang Musti Lo Lakukan Ketika Lelah Berjuang
Memiliki mimpi itu baik, tetapi lebih baik lagi merealisasikan mimpi dalam bentuk senyata-nyata bentuk di hidup kita. Mimpi itu selalu baik, tergantung diri kita membawa mimpi itu tetap terjaga dengan baik. Atau justru membiarkannya lenyap karena kita tak punya cukup kekuatan untuk mempertahankannya. Setelah kita bisa menjawab pertanyaan sederhana ini. Barulah kita belajar tentang bagaimana mendefinisikan kata “happy” dalam kalimat “work on what makes you happy”.
Happy di sini bukan hanya soal uang atau pekerjaan. Kesenangan yang dimaksud bisa lebih dari itu. Ya, kesenangan terhadap rekan kerja yang baik dan jam kerja yang fleksibel juga harus masuk dalam daftar pertimbangan. Ada yang merasa bahagia bekerja hingga larut malam ada pula yang bahagia bekerja sesuai jam kerja pada umumnya. Tingkat “happy” inilah yang tidak bisa didefinisikan secara rinci. Semuanya tergantung bagaimana diri kita menyikapi hal tersebut.
Jangan bersedih jika pekerjaanmu saat ini bukan menjadi pekerjaan yang kamu impikan: pekerjaan yang kamu rasa tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Selama kamu bisa berkembang dan belajar hal baru, kamu harus terus mensyukuri hal tersebut. Believe it or not, bekerja itu belajar, mempelajari hal baru untuk bisa kembali diterapkan pada karir yang ingin kita kejar. Kalau memang bekerja hanya untuk mencari uang, tak perlulah kita terlalu “ngoyo” ngomongin passion.
In the end, let me said that whatever work to live or live to work. The things that you have to follow is “work on what makes you happy”
Baca juga: Jadilah Developer Dengan Faktor X