Sama halnya seperti Hollywood untuk perfilman dan New York untuk industri musik, Silicon Valley adalah Mekkah untuk industri teknologi. Semua orang, tenaga, dan sumber daya dipusatkan ke sana. Katanya juga sih, kalau sebuah startup mau go international, harus dibentuk dan dirilis di sana.
Tapi pernah kepikiran dan kebayang ngga sih, kenapa dan bagaimana Silicon Valley menjadi seperti sekarang ini? Faktor apa yang membuat semua orang berlomba-lomba pergi dan bertarung di sana?
Saya kemarin sempat ngobrol-ngobrol dengan Angelina Veni Johanna atau akrab disapa Veni, seorang mahasiswa Indonesia lulusan Stanford, yang sempat magang dan sekarang kerja di Quora, sebuah startup bentukan mantan karyawan Facebook, Adam D’Angelo dan Charlie Cheever.
Silicon Valley sebagai sebuah tech hub, berkembang dari banyaknya perusahaan teknologi yang bermarkas di area ini, beberapa di antaranya seperti Google, Facebook, Intel, HP, sampai startup seperti Uber, Airbnb, dan Square. Tapi pada awalnya, Silicon Valley ini ada karena didorong oleh beberapa profesor Stanford yang ingin menciptakan industri di sekitaran area Stanford dengan tujuan agar menciptakan lapangan pekerjaan bagi para lulusannya. Jadi ngga heran kalau Stanford menjadi pusat dan jantung Silicon Valley hingga saat ini.
Menurut Veni, Silicon Valley tumbuh karena pasokan talent yang tidak henti-hentinya dari Stanford. Sebagai salah satu universitas ternama di dunia, Stanford selalu menarik bagi banyak orang hebat, karena seleksinya yang ketat dan gengsinya yang luar biasa. Lulusan Stanford sudah pasti jaminan mutu, karena masuknya pun susah banget!
Untuk menarik talent dari Stanford, setiap tiga bulan sekali, selalu ada career fair di mana para perusahaan teknologi baik besar dan kecil menawarkan lowongan magang dan karyawan tetap di perusahaan mereka. Kalau kamu anak Stanford yang sudah punya portfolio, biasanya kamu yang akan dihubungi langsung untuk ditawari pekerjaan, bukan kamu yang mesti melamar lagi. Insentif yang ditawarkan ngga sedikit lho. Anak magang sekalipun bisa ditawari gaji hingga 10,000 USD per bulannya. Angka yang sangat fantastis bukan?
Bukan cuma diisi oleh orang-orang terpilih, Stanford juga punya iklim entrepreneurship yang luar biasa. Semua anak di Stanford pada umumnya kepikiran untuk bikin startup, atau cari pengalaman dengan kerja di startup, bahkan sejak semester satu. Senior mereka di kampus, ketika sudah lulus juga bikin startup, jadi mereka semakin terdorong untuk bikin hal yang serupa.
Mereka juga percaya akan meritokrasi, sebuah sistem di mana penghargaan diberikan berdasarkan prestasi dan kemampuan, bukan dari status sosial seseorang. Jadi, mereka terbiasa memberikan reward terhadap skill, bukan karena orang tersebut lebih senior, atau lebih tua. Argumen mereka berdasarkan fakta dan data, bukan asumsi dan opini. Ngga heran, produk yang dihasilkan pun bakal lebih bagus karena selalu diperbaiki berdasarkan analisis ilmiah, bukan hasil perkiraan.
Ngga cuma itu, mindset mereka dalam mengembangkan produk juga berbeda. Mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan akan berpengaruh pada seluruh dunia, karena mereka yakin apa yang dibuat akan mengglobal. Kalau kita terbiasa berpikir bahwa apa yang kita lakukan itu berpengaruh buat banyak orang di seluruh dunia, kita ngga mungkin akan bikin produk yang biasa-biasa aja kan?
Oleh karena beberapa faktor di atas, ngga salah kalau Stanford disebut sebagai pusatnya Silicon Valley. Stanford menjadi sumber dari modal utama sebuah industri yang mapan, yaitu sumber daya manusia pilihan dengan mindset yang hebat.
Header image credit: gratisography