Sebelum ke US, kami nyusun itinerary dan menentukan mau ke mana saja, dan akan tinggal di mana. Berhubung biaya tinggal di Amerika lumayan tinggi, kami memutuskan mau coba mencari alternatif tempat tinggal menggunakan Airbnb.
Konsep Airbnb sangat simpel, yaitu mendorong orang yang punya kelebihan space, misalnya punya apartemen yang ngga dipake, atau ada kamar kosong di rumah, untuk disewakan ke orang lain yang membutuhkan. Kalau kita punya space yang ngga terpakai tersebut, kita bisa listing di Airbnb supaya orang bisa cari dan booking tempat kita ketika diperlukan. Pendeknya, Airbnb ini mirip konsep kost-kostan di Indonesia. Nyewain kamar di rumah buat orang dari luar daerah untuk tinggal sebentar atau bisa juga untuk waktu yang relatif lebih panjang.
Experiencing Airbnb
Setelah cukup lama searching dan membandingkan beberapa tempat, kami menemukan satu unit apartemen di Palo Alto, sebuah neighborhood yang bagus dan nyaman, cukup strategis, tersedia di tanggal yang kami mau, sekaligus harganya masuk akal. Soalnya berhubung lagi banyak banget event di minggu ini, banyak tempat di sekitaran San Francisco yang udah habis di book, atau kalau pun ada, mahal banget harganya.
Ketika check in, kami amazed dan ngerasa kalau fasilitas apartemennya sangat worth the price. Ada dapur, wifi, kamar yang besar, dan ruang tamu yang nyaman. Bahkan kami dikasih sebotol complimentary wine sebagai ucapan selamat datang oleh host.
Bukan cuma itu, proses booking-nya pun sangat gampang. Setelah searching dan riset, book di situs airbnb.com, bayar pake kartu kredit (which is the same thing kayak book di Agoda atau beli tiket online), dan selesai. Si host (orang yang punya rumah) akan menghubungi kita lewat email untuk kasih tahu house rules, cara check in, sampai gimana caranya kita bisa menuju ke rumah tersebut. Beberapa host akan ketemu kita langsung untuk serahin kunci, dan beberapa host lain akan titip kunci supaya kita ngga usah nunggu ketemu dengan orangnya untuk bisa check in.
Di rumah atau apartemen tersebut, kita bisa pake apapun yang tersedia – kecuali yang dilarang oleh host-nya – dan check in/check out sesuai dengan jadwal dan rules yang ditentukan oleh si host.
Sharing ride with Uber
Pada hari pertama sampe, Ivan Yudhi baik banget menawarkan diri untuk jemput kami di Bandara SFO dan nyetirin kami ke mana-mana di San Francisco. Ketika jam 11 siang mendarat, kami kemudian muter-muter ke beberapa tempat, salah satunya ke kantor Code for America. Setelah itu, tujuan kami selanjutnya pengen liat sebuah hackathon event yang diadakan di daerah pusat kota San Francisco.
Kami dan Ivan pergi ke acara hackathon tersebut, tapi setelah di sana, sekitar jam 8 malam, kami baru berasa jetlag dan capek. Terbang 18 jam dan setelah itu langsung meeting ke sana kemari bikin badan langsung drop. Kami memutuskan untuk balik cepet dan ngga ikutan hackathon sampai selesai.
Berhubung Ivan volunteering di hackathon tersebut, otomatis Ivan ngga bisa anter kami ke tempat nginep di Palo Alto, yang cukup jauh dari pusat kota San Francisco, sekitar 30 menit naik mobil. Jadilah kami terdampar dengan tiga koper besar di pusat kota San Francisco dan bingung mau naik apa ke Palo Alto. Kami sempat kepikiran untuk naik Caltrain – semacam KRL yang menghubungkan antar kota di San Francisco – tapi urung gara-gara mesti bawa koper yang besar dan berat. Opsi lain ya naik taksi, tapi kok ya kayaknya bakal mahal banget.
Kebetulan sebelum ke US, saya sempat install aplikasi Uber, dan niat pengen nyoba pake ketika sampe di sini. Berhubung saya udah registrasi, tinggal klik beberapa kali, langsung pesan Uber untuk jemput kami di lokasi saat itu. Mirip kayak aplikasi pesan taksi Blue Bird, tapi jauh lebih gampang. Dan hebatnya lagi, aplikasi ini bisa mengkalkulasi berapa kira-kira ongkos yang akan dikeluarkan tergantung jarak yang ditempuh. Proses pembayarannya pun lagi-lagi sangat gampang. Ngga perlu keluarin uang tunai, semua pembayaran dilakukan secara online menggunakan kartu kredit.
Kami tiba di tempat tujuan dengan cepat, dan ongkos yang dikeluarkan jauh lebih murah ketimbang naik taksi biasa. Driver-nya pun super ramah dan mau ngajak kami ngobrol bareng selama sekitar 30 menit perjalanan.
Sharing economy
Kedua hal di atas, Airbnb dan Uber, merupakan solusi yang terjadi atas masalah krisis ekonomi yang dihadapi Amerika Serikat di sekitar tahun 2008. Ketika itu, karena inflasi yang tinggi dan kenaikan harga, banyak orang terpaksa “berbagi” resources mereka dengan orang lain, demi keringanan harga dan mendapatkan tambahan penghasilan.
Memanfaatkan kamar yang kosong di rumah untuk kemudian disewakan ke orang lain kan berarti kita bisa mendapatkan uang dari hal yang sebelumnya kita tidak merasa ngga perlu melakukannya. Anyway, kamarnya memang kosong, jadi apa salahnya dapat sedikit tambahan uang?
Sementara Uber, konsepnya mirip nebeng, di mana si supir bukan sehari-hari berprofesi sebagai supir. Mereka adalah orang biasa yang punya mobil, dan kebetulan lagi ada di sekitaran tempat kita berada, dan semacam nawarin untuk nebeng tapi berbayar. Buat mereka yang jadi supir, ongkos dari penumpang lumayan buat nambah ongkos bensin, dan anyway, mereka memang lagi ada di dekat-dekat situ. Apa salahnya berbagi dengan orang lain? Kedua belah pihak mendapat benefit mereka masing-masing dengan saling tukar resources yang dimiliki.
Mungkin konsep ini kedengeran agak nyeleneh dan ngga biasa. Tapi banyak negara di dunia sudah mengadopsi Airbnb maupun Uber, dan banyak orang terbantu karenanya. Baik Uber maupun Airbnb juga sudah ada di Indonesia, meskipun baru dan belum terlalu banyak diketahui orang.
Lagi-lagi, teknologi memungkinkan orang yang ngga saling kenal untuk ketemu dan saling terhubung agar bisa berbagi resources satu sama lain yang saling membutuhkan.
Nah, ada ngga yang kepikiran bikin konsep sharing economy dalam bentuk lain di Indonesia? Share your thought with us!
Comments 2