Ziliun
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
Ziliun
No Result
View All Result

Menjadi Buruh Ber-mental CEO

PutribyPutri
22/12/2014
in Featured, Opinion
0
Menjadi Buruh Ber-mental CEO
Share on FacebookShare on Twitter

“He who works with his hands is a laborer. He who works with his hands and his head is a craftsman. He who works with his hands and his head and his heart is an artist.” (Francis of Assisi)

Pernahkah beberapa dari kalian mendapati kemacetan di jalanan gara-gara demo, apalagi demo buruh. Hal tersebut memang tidak pernah berhenti berkobar di mana para buruh selalu menagih pemerintahan untuk sebuah kenaikan honorarium.

Upah yang dirasa terlalu minim selalu menjadi isu utama para buruh dalam mendesak pemerintah menaikkan angka UMR (Upah Minimum Regional). Khususnya, untuk mereka para nasib pekerja buruh kelas lapisan terbawah. Tapi sebenarnya, bukan sebuah solusi yang tepat untuk selalu menaikkan jumlah UMR para buruh.

Jika ditelaah kembali nih ya, menurut sebuah sudut pandang teori ekonomi neoklasikal, nilai upah pekerja pada dasarnya ditentukan oleh produktivitas dari pekerja tersebut, yaitu seberapa banyak kontribusi dari pekerja yang bersangkutan terhadap jumlah produk akhir yang dihasilkan suatu perusahaan.

RelatedPosts

Sekali-kali Kita Keluar dari Zona Mimpi

Libra Cryptocurrency: Is it a Good Crypto (or Not)?

Foto: itoday.co.id

Baca juga: Diam Belum Tentu Emas, Ayo Speak Up Your Ideas! 

Logikanya, semakin tinggi kontribusi pekerja tersebut terhadap perusahaan maka semakin besar juga kompensasi yang dihasilkan, sama halnya dengan semakin unik skill, ide, dan cara berpikir yang kalian miliki, maka semakin tinggi pula kebutuhan perusahaan terhadap kalian. Kemudian, munculnya upah minimum yang didapati oleh buruh saat ini sangat tidak membantu permasalahan sebenarnya. Pasalnya, buruh akan selalu meminta kompensasi tinggi, namun tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang ternyata masih sangat rendah atau belum mumpuni.

Di satu sisi para buruh meminta kompensasi lebih tinggi pun dikarenakan sebuah alasan, yakni harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari yang semakin tinggi karena ternyata selain memenuhi kebutuhan pokok nampaknya buruh berusaha memenuhi kebutuhan prestige-nya, dan kemudian berpengaruh kepada permintaan uang alias inflasi yang melonjak.

Ketika inflasi melonjak maka adanya kecenderungan bahwa harga barang meningkat secara terus-menerus. Ketika harga barang naik secara terus menerus maka permintaan akan kompensasi yang tinggi terhadap buruh juga akan semakin tinggi. Maka dari itu, permasalahan ini seperti sebuah bola salju yang selalu menggelinding dan tidak akan ada hentinya.

Baca juga: How to Maximize Your Waiting Time

Jika memang pemerintah dapat melihat lebih peka dan jeli, permasalahan paling mendasar datang dari pendidikan terhadap SDM untuk saat ini. Kalaupun memang SDM masih memilki taraf pendidikan di bawah rata-rata, maka sama saja yang akan dihasilkan adalah produk masyarakat yang bermental buruh dan belum kompeten karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan.

Namun, tidak selamanya juga ini adalah kesalahan pemerintahan, kesadaran masyarakat pun juga harus dilatih. Kenapa bisa begitu? Ya, jika memang masyarakat ingin generasi bangsa ini tidak terpuruk dengan produk masyarakat yang rendah melulu, setidaknya mereka akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk penerusnya. Karena dari merekalah sebenarnya kita dapat lebih makmur.

Baca juga: Ketika Budaya Radikal Makin Menjual

Selama bukan empunya perusahaan dan masih kerja untuk orang, secara status, kita memang buruh. “Buruh” baiknya dimaknai lebih ke sebuah konsep, mindset. Ada aja kok CEO bermental buruh. Leadership sekedarnya, banyak menuntut tanpa pembuktian. Tapi, ada juga “buruh” bermental CEO, yang bener-bener memahami bahwa ada alasannya kita disebut “karyawan”, bukan “kerjawan”. Orang-orang yang berkarya, yang mengejar hasil, yang mengaktualisasikan dan mengembangkan diri lewat etos kerja yang progresif. Yang bukan fokus berkoar meminta kenaikan, tapi sibuk membuktikan.

Boleh kita belum punya perusahaan, tapi mental ini, udah harus lebih jauh dari sekedar “buruh”. Menjadi buruh dengan mental CEO.

Baca juga: Mana yang Lebih Penting, Proses atau Hasil?

Header image credit: gratisography.com

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Suka Memuat...
Tags: kebijakantenaga kerjaupah buruhWhat We Think
Previous Post

Nyogok Demi Masa Depan, “Kepintaran” Terbesar Pemuda Indonesia

Next Post

Isn’t Life Too Short for A Holiday?

Next Post
Isn’t Life Too Short for A Holiday?

Isn't Life Too Short for A Holiday?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Yang Terbaru

  • Fenomena Media Alternatif: Efektif Tapi Bisa Bawa Dampak Negatif
  • Fenomena Konser Ramah Lingkungan, Gimana Praktiknya?
  • Mengenal Apa itu Chronically Online
  • Apakah Demokrasi Adalah Sistem Pemerintahan Terbaik?
  • Mengenal Filsafat Stoikisme
Ziliun

Media yang menemani perjalanan anak muda untuk menghadapi kehidupan dan memasuki dunia kerja, serta mendorong dan memotivasi anak muda untuk menjadi versi terbaik diri mereka.

  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kerja Sama

Ruang & Tempo Coworking Space

Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No. 8, Jakarta Selatan 12210

Bikin kontenmu sekarang!

© 2025 Ziliun All rights reserved.

Ziliun

  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space

© 2025 Ziliun All rights reserved.

%d