“He who works with his hands is a laborer. He who works with his hands and his head is a craftsman. He who works with his hands and his head and his heart is an artist.” (Francis of Assisi)
Pernahkah beberapa dari kalian mendapati kemacetan di jalanan gara-gara demo, apalagi demo buruh. Hal tersebut memang tidak pernah berhenti berkobar di mana para buruh selalu menagih pemerintahan untuk sebuah kenaikan honorarium.
Upah yang dirasa terlalu minim selalu menjadi isu utama para buruh dalam mendesak pemerintah menaikkan angka UMR (Upah Minimum Regional). Khususnya, untuk mereka para nasib pekerja buruh kelas lapisan terbawah. Tapi sebenarnya, bukan sebuah solusi yang tepat untuk selalu menaikkan jumlah UMR para buruh.
Jika ditelaah kembali nih ya, menurut sebuah sudut pandang teori ekonomi neoklasikal, nilai upah pekerja pada dasarnya ditentukan oleh produktivitas dari pekerja tersebut, yaitu seberapa banyak kontribusi dari pekerja yang bersangkutan terhadap jumlah produk akhir yang dihasilkan suatu perusahaan.
Baca juga: Diam Belum Tentu Emas, Ayo Speak Up Your Ideas!
Logikanya, semakin tinggi kontribusi pekerja tersebut terhadap perusahaan maka semakin besar juga kompensasi yang dihasilkan, sama halnya dengan semakin unik skill, ide, dan cara berpikir yang kalian miliki, maka semakin tinggi pula kebutuhan perusahaan terhadap kalian. Kemudian, munculnya upah minimum yang didapati oleh buruh saat ini sangat tidak membantu permasalahan sebenarnya. Pasalnya, buruh akan selalu meminta kompensasi tinggi, namun tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang ternyata masih sangat rendah atau belum mumpuni.
Di satu sisi para buruh meminta kompensasi lebih tinggi pun dikarenakan sebuah alasan, yakni harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari yang semakin tinggi karena ternyata selain memenuhi kebutuhan pokok nampaknya buruh berusaha memenuhi kebutuhan prestige-nya, dan kemudian berpengaruh kepada permintaan uang alias inflasi yang melonjak.
Ketika inflasi melonjak maka adanya kecenderungan bahwa harga barang meningkat secara terus-menerus. Ketika harga barang naik secara terus menerus maka permintaan akan kompensasi yang tinggi terhadap buruh juga akan semakin tinggi. Maka dari itu, permasalahan ini seperti sebuah bola salju yang selalu menggelinding dan tidak akan ada hentinya.
Baca juga: How to Maximize Your Waiting Time
Jika memang pemerintah dapat melihat lebih peka dan jeli, permasalahan paling mendasar datang dari pendidikan terhadap SDM untuk saat ini. Kalaupun memang SDM masih memilki taraf pendidikan di bawah rata-rata, maka sama saja yang akan dihasilkan adalah produk masyarakat yang bermental buruh dan belum kompeten karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan.
Namun, tidak selamanya juga ini adalah kesalahan pemerintahan, kesadaran masyarakat pun juga harus dilatih. Kenapa bisa begitu? Ya, jika memang masyarakat ingin generasi bangsa ini tidak terpuruk dengan produk masyarakat yang rendah melulu, setidaknya mereka akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk penerusnya. Karena dari merekalah sebenarnya kita dapat lebih makmur.
Baca juga: Ketika Budaya Radikal Makin Menjual
Selama bukan empunya perusahaan dan masih kerja untuk orang, secara status, kita memang buruh. “Buruh” baiknya dimaknai lebih ke sebuah konsep, mindset. Ada aja kok CEO bermental buruh. Leadership sekedarnya, banyak menuntut tanpa pembuktian. Tapi, ada juga “buruh” bermental CEO, yang bener-bener memahami bahwa ada alasannya kita disebut “karyawan”, bukan “kerjawan”. Orang-orang yang berkarya, yang mengejar hasil, yang mengaktualisasikan dan mengembangkan diri lewat etos kerja yang progresif. Yang bukan fokus berkoar meminta kenaikan, tapi sibuk membuktikan.
Boleh kita belum punya perusahaan, tapi mental ini, udah harus lebih jauh dari sekedar “buruh”. Menjadi buruh dengan mental CEO.
Baca juga: Mana yang Lebih Penting, Proses atau Hasil?
Header image credit: gratisography.com