“Cubicles are the worst —like chicken farming.” (Clive Wilkinson)
Pedes sih, tapi majunya zaman sekarang bikin pernyataan Clive Wilkinson tadi jadi rasional. Arsitek kenamaan ini bilang kalau kubikel di kantor-kantor itu “humiliating, disenfranchising, and isolating.” Merendahkan, mencabut hak, dan mengasingkan. Dan ia mengasosiasikannya dengan… peternakan ayam. *tusuk*
Kita boleh setuju atau nggak setuju sama pernyataan Wilkinson tersebut. Tapi emang sih, di era digital yang kulturnya udah lebih dinamis dan kolaboratif ini, kubikel jadi kayak ketinggalan jaman. Lingkungan kerja nggak lagi vertikal. Mau ketemu bos harus bikin jadwal sama sekretarisnya, nunggu sekian lama, pake keringet dingin dulu di depan ruangannya yang lebih luas dari ruang tamu kita di rumah!
Tapi tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan rintisan bikin stereotype ini terhapus sedikit demi sedikit. Lingkungan kerja sekarang udah horizontal. Nggak ada lagi aturannya bos harus punya ruangan, nggak bisa dijangkau sembarang karyawan.
Baca juga: Working at Startup: Are You In for the Money or Values?
We’re embracing a new era. Ketika internet membuat segala hal di dunia ini jadi borderless dan tidak berjarak; begitupun dengan iklim dan ritme kerja kita. Kita nggak lagi butuh kubikel setinggi gaban untuk menyekat-nyekat karyawan, “memenjarakan” karyawan dalam jarak pandang yang begitu terbatas.
Bukannya lebih enak kalau kita semua bisa saling berkomunikasi dengan terbuka, bebas, lancar, tanpa gap? Tanpa kubikel, menyuarakan pendapat ngga lagi harus nunggu jam rapat. Tinggal teriak dikit, aspirasi tersampaikan. Kreativitas? Ngalir.
Ditambah dengan “bos” yang bekerja turun tangan “bersama” kita, yang tahu betul perannya sebagai pemimpin, bukan tukang perintah. Pemimpin yang menggerakkan tim, bukan bos yang duduk nggak ngapa-ngapain, malah minta dilayanin.
Baca juga: Menjadi Lebih Bermakna
Ada sih salah satu contoh terbaik untuk ini. Ziliun pernah cerita ke kalian tentang kantor Facebook di Menlo Park, California. Dengan lebih dari 3,000 karyawan, Facebook oke banget bisa mengapresiasi karyawannya lewat workspace yang sempurna, dengan elemen seni yang mengatrol tumbuh kembangnya inovasi dan kolaborasi di sana.
Yang lebih hebatnya, iya, the socially-awkward Mark Zuckerberg yang sebagian besar kita cuma lihat sosoknya di film The Social Network, sama sekali nggak punya ruangan sendiri! CEO kawakan ini duduk dengan rekan kerjanya di ruangan yang sama dengan karyawan lainnya. Kagum? Boleh.
Baca juga: Orang yang Tersesat, Belum Tentu Tersesat
Dilansir The Verge, Clive Wilkinson sendiri bilang, 75-80% kantor di Amerika sana masih menganut sistem “cubicle land” di dalam gedung-gedung mereka. Sebagai arsitek kantor pusat Google di Silicon Valley, Clive Wilkinson aja mesti keluar effort lumayan untuk meyakinkan The Almighty Google untuk ngebuang semua kubikel mereka dan menggantinya dengan ruang-ruang kaca. Haha.
Saya sadar juga sih, sebagian kita merasa lebih efektif bekerja tanpa turut campur tambahan sekian pasang mata. Saya pribadi pun, kalau nulis enaknya nyari ketenangan di pojokan. Tapi hal kayak gini, solusinya ya ada. Tinggal sediakan silent space di kantor, atau tempat-tempat pewe yang bisa kita gunakan untuk semedi. Interior kantor bisa didesain sedemikian rupa dan serbaguna.
After all, ketika teknologi udah segininya bikin hidup manusia berbeda, bukannya kita butuh lebih banyak lagi komunikasi tatap muka?
“The amount of information that’s conveyed by looking people in the face and seeing their body language and seeing their eyes in person, hearing the tone of their voice and the subtleties of the communication, is enormous,” begitu Clive Wilkinson bilang, bijak.
Header imagecredit: fosterandpartners.com