Penebang kayu yang hebat harus rutin mengasah kapaknya. Petani yang pintar merotasi tanamannya untuk produktivitas lahan dan hasil yang maksimal. Kita? Kalau mau maju ya jangan lupa mengasah kapak. Bedanya senjata kita bukan kapak, tapi otak.
Alkisah, ada seorang penebang kayu yang dipuja-puja karena kehebatannya. Dalam sehari bisa menebang 18 batang pohon besar-besar, sendirian. Tapi kemudian, suatu hari cuma 15 pohon yang berhasil ditebangnya. Hari berikutnya lebih parah, cuma 10 pohon dia udah nyerah. Hari-hari setelahnya prestasi makin menurun, penebang kayu merasa kehilangan kemampuannya. Ia bertanya-tanya apa penyebabnya.
“Kapan terakhir kalinya kamu mengasah kapak?” tanya orang bijak.
“Saya tidak punya waktu untuk mengasah kapak. Saya terlalu sibuk menebang pohon,” jawab si penebang.
Jadi, nggak heran kemampuannya menurun. Kapaknya nggak pernah diasah, jadi tumpul. The same rule goes to us, pelajar, mahasiswa dan mahasiswi, karyawan dan karyawati urban masa kini.
Baca juga: Pentingnya Menentukan Skala Prioritas
Rutinitas yang begitu panjang, deadline yang selalu dekat, membuat kita kadang lupa mengambil jeda. Sama halnya dengan kapak, pikiran kita juga harus selalu diasah. Biar nggak buntu, nggak tumpul dan tetap tajam.
Banyak cara mengasah kapak, bukan kapak beneran. Nggak ada yang salah dengan mengabdikan diri untuk pekerjaan, bagus malah, tapi, jangan sampai lupa menutrisi otak dan memperkaya pikiran dengan hal-hal positif di luar rutinitas sehari-hari.
Suka baca buku? Jangan cuma beli dan plastik-nya nggak dikeletek sampe setahun, tapi dibaca. Olahraga mesti dibikin rutin nggak cuma buat pamer di social media, dan jangan biarkan badan mendekam di depan layar seharian tanpa gerak. Ikut kegiatan komunitas yang kamu suka, datang seminar atau talkshow, dan biarkan inspirasi masuk dari panca indera kita. Bersosialisasi dengan banyak orang. Terlibat dalam kegiatan sosial, berempati sama sesama manusia apalagi korban bencana, berbagi harta maupun tenaga.
Baca juga: Menjadi Buruh Ber-Mental CEO
Sesekali coba refleksi kaki maupun refleksi diri dan hati. Sekedar evaluasi kenapa kita melakukan semua ini, apa ini udah sesuai dengan tujuan hidup, atau apa yang harus dilakukan agar jadi lebih produktif, progresif, kreatif, inovatif, dan -if -if positif lain ke depannya.
Kalau di pertanian aja ada pola tanam rotasi, setiap musimnya mengganti variasi tanaman demi produktivitas lahan. Jadi ternyata, selain kayak kapak, kita juga kayak lahan pertanian. Jangan sampai jadi lahan jenuh yang nggak subur karena terus menerus ditanami bibit yang sama sepanjang hidup.
Kalau mahasiswa, bisa lebih leluasa mengasah kapak karena jadwal yang lebih fleksibel. Tapi bagi karyawan dan karyawati kota-kota besar, berharaplah punya perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan mengasah kapak kita, dengan cara apapun itu. Baiknya nggak sekedar berharap, tapi juga nyari, ngusulin, dan berpartisipasi. Misalnya macam sesi sharing dengan disilpin ilmu lain, olahraga bareng, sampe sesi hiburan, kegiatan sosial, dan outing bareng. Self-maintenance.
Baca juga: Jangan Hidup Untuk Membahagiakan Orangtua
Penebang kayu yang hebat harus rutin mengasah kapaknya. Petani yang pintar merotasi tanamannya untuk produktivitas lahan dan hasil yang maksimal. Kita? Kalau mau maju ya jangan lupa mengasah kapak. Bedanya senjata kita bukan kapak, tapi otak.
Header image credit: insideedge.onemillionskates.com
Comments 2