Ziliun
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space
No Result
View All Result
Ziliun
No Result
View All Result

Awas Terjebak Filosofi Ilmu Padi

PutribyPutri
08/01/2015
in Opinion
3
Awas Terjebak Filosofi Ilmu Padi
Share on FacebookShare on Twitter

Harusnya, orang-orang pintar dan penuh pengalaman ini lantang bersuara, berbagi ilmunya pada sesama, bahkan menggerakkan peradaban ke arah yang lebih baik.

Padi, yang nasinya setiap hari kita makan itu, mengajarkan filosofi hidup “semakin berisi, semakin merunduk.”

Falsafah yang dekat dengan kita sejak kecil ini, maksudnya mau bilang bahwa manusia nggak sepantasnya sombong. Wong kita ini hanya butiran debu di antara semesta ciptaan Tuhan. Di atas langit masih ada langit. Dan kalau kata hadist, tak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, meski itu hanya sebesar biji zarrah.

Iya, sepakat bila filosofi padi dimaknainya benar seperti itu. Untuk menjadikan kita manusia yang nggak berjalan di muka bumi dengan congkak seakan dunia ada di genggaman, menganggap rendah setiap orang.

RelatedPosts

Sekali-kali Kita Keluar dari Zona Mimpi

Libra Cryptocurrency: Is it a Good Crypto (or Not)?

Baca juga: Mulai Jadi Pahlawan Melalui Start Surabaya

Budaya tutur di Indonesia masih mendominasi. Image credit: sdphaltim.com

Tapi, padi bukan lantas menyuruh kita, kalau sudah pintar, merunduk saja. Diam-diam, jangan sampai kelihatan orang. “Semakin berisi, semakin merunduk” bener-bener gawat kalau jadi patokan bahwa semakin pintar dan kaya pengalaman seseorang, semakin ia tidak tampil. Ingat nasibnya padi setelah makin berisi dan merunduk? Ya ditumbuk-tumbuk. Dipanen berasnya, padinya mati. For good sih, tapi tetap mati.

Karena harusnya, orang-orang pintar dan penuh pengalaman inilah yang lantang bersuara, berbagi ilmunya pada sesama, bahkan menggerakkan peradaban ke arah yang lebih baik.

Kalau dikaitkan, beberapa waktu lalu saya sempat baca di Kompas.com, dikutip dari Kementerian Riset dan Teknologi RI, produk intelektual bangsa Indonesia dalam bentuk publikasi ilmiah masih sangat tertinggal dibanding negara-negara di Asia, bahkan ASEAN.

Baca juga: Don’t Burn The Bridge

Katakan dalam satu kurun waktu yang sama, total publikasi nasional dan internasional dari negara tetangga Singapura, Thailand, dan Malaysia di atas 30.000. Sementara Indonesia hanya menghasilkan total publikasi 7.843, atau 25 persennya.

Orang awam pun bisa menyimpulkan, geliat kehidupan iptek di kalangan akademisi kita emang belum optimal aja. Padahal, banyak kampus dalam negeri yang udah berlomba-lomba pasang title world class research, bahkan membangun perpustakaan megah yang diklaim terbesar se-ASEAN. Lalu, hasilnya?

Guru besar IPB menuliskan pandangannya tentang beberapa faktor yang membuat publikasi ilmiah kita begitu seret. Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sampai mengurangi derajat selektivitas. Kemudian, kurang optimalnya peran reviewer, dan kecilnya dana penelitian untuk dosen dan peneliti.

Alasan pertama sih yang paling fundamental. Sedikitnya naskah ilmiah, apa mungkin para akademisi semuanya sebegitu menganut filosofi ilmu padi? Pintar dan merunduk, sementara seharusnya expertise mereka bisa dituangkan dalam tulisan yang jadi sumber ilmu buat banyak orang di dunia.

Budaya tutur di Indonesia emang masih mendominasi. Ketertinggalan ini nggak lepas dari lemahnya budaya menulis mulai dari kampus. Banyak mahasiswa malas menulis, cuma mengincar gelar di belakang nama, mau ijazah biar lebih mudah cari kerja.

Baca juga: Pemimpin Itu Harus Kepo

Segera setelah saya lulus pun, tiba-tiba di jurusan saya skripsi berubah jadi mata kuliah pilihan. Bisa lulus hanya dengan menyelesaikan target SKS gitu aja, gimana mahasiswa nggak semakin enggan menulis? Akhirnya yang memilih untuk tetap ambil Tugas Akhir atau Skripsi, ya cuma yang bener-bener prinsipil aja. *padahal iri*

Kalau kita memutuskan jadi akademisi di kampus, lakukanlah dengan baik. Nggak hanya berlaku untuk akademisi dan publikasi ilmiah, praktisi industri pun nggak bisa terus menerus praktek tanpa menuliskan ilmunya. Seperti kata pepatah, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Jangan merunduk-runduk, tunjukkan ke dunia, bagikan ilmu kita ke sesama.

Header image credit: infoanekamacam.blogspot.com

 

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Suka Memuat...
Tags: filosofimenulispadipublikasiWhat We Think
Previous Post

Udah Bukan Zamannya Produk Indie Cepat Mati

Next Post

Your Success is (not) Up to You

Next Post
Your Success is (not) Up to You

Your Success is (not) Up to You

Comments 3

  1. Ping-balik: Industri Komik Filipina dan Singapura: Rumput Tetangga Gak Selalu Lebih Hijau | Ziliun
  2. Ishaan says:
    4 tahun ago

    Cukup menarik, kalo boleh menambahkan menurut sepemahaman saya, mungkin yang dimaksud semakin berisi semakin menunduk, dalam hal ini filosofi padi, menandakan semakin “berisi” pengetahuan seseorang semakin “humble” pula dia. Jika orang semakin berilmu tetapi malah tidak nampak manfaat dari ilmunya. Malah membuat ilmunya kurang bermanfaat atau malah tidak bermaanfaat sama sekali.

    Balas
    • Ziliun says:
      3 tahun ago

      Betul! Jadi, semakin tau dia punya ilmu, dia semakin ramah dan gak sombong dengan pengetahuannya. Harusnya sih begitu, ya…

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Yang Terbaru

  • Fenomena Media Alternatif: Efektif Tapi Bisa Bawa Dampak Negatif
  • Fenomena Konser Ramah Lingkungan, Gimana Praktiknya?
  • Mengenal Apa itu Chronically Online
  • Apakah Demokrasi Adalah Sistem Pemerintahan Terbaik?
  • Mengenal Filsafat Stoikisme
Ziliun

Media yang menemani perjalanan anak muda untuk menghadapi kehidupan dan memasuki dunia kerja, serta mendorong dan memotivasi anak muda untuk menjadi versi terbaik diri mereka.

  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kerja Sama

Ruang & Tempo Coworking Space

Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No. 8, Jakarta Selatan 12210

Bikin kontenmu sekarang!

© 2025 Ziliun All rights reserved.

Ziliun

  • Issuepedia
  • Workipedia
  • Inner Space

© 2025 Ziliun All rights reserved.

%d