Semakin urban, semakin canggih teknologi dalam hidup kita, nggak seharusnya kita semakin jauh dengan alam dan kesadaran agrikultural dan lingkungan.
Masih ingat tidak memori ketika zaman sekolah dasar, pelajaran berkebun dan bercocok tanam menjadi pelajaran yang cukup diminati. Biasanya kita senang karena dari pelajaran tersebut kita bisa mendapatkan pengalaman baru serta biasa menyatu dan mencintai alam.
Tapi in fact, saat ini kondisinya terbatas. Lahan kosong yang biasanya menjadi tempat bercocok tanam, tempat dimana tumbuhan hijau tumbuh dengan subur kini digantikan dengan gedung pencakar langit. Berderet-deret gedung besar berdiri, tanah lapang pun hampir tak ada. Ironis kan, kalau malah perkembangan teknologi menjauhkan kita dari “menyentuh” bumi.
Sebenarnya, berkebun itu tak harus dilakukan di sebuah lahan besar dan menggunakan media tanah. Kita bisa bercocok tanam dengan menggunakan berbagai media. Tren ini disebut sebagai “Urban Farming”. Urban farming muncul sebagai jawaban atas kegelisahan kita dalam menyikapi semakin terbatasnya lahan di kota-kota besar. Tingkat polusi yang makin tinggi dan tidak diimbanginya sebuah kawasan hijau membuat kota semakin terasa gersang dan panas.
Baca juga: Carline Darjanto, Dedikasikan Cotton Ink untuk Perempuan
Martin Bailkey, seorang dosen arsitektur lanskap di Wisconsin-Madison, AS, membuat definisi Urban Farming sebagai rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metode using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.
Namun, menanamkan rasa suka pada bercocok tanam di masyarakat perkotaan saat ini agak sedikit sulit. Masyarakat tidak ingin repot berkotor-kotor ria, masyarakat saat ini sangat ingin segalanya lebih ringkas. Nah, jangan salah! Urban farming juga bisa mengubah mindset bahwa bercocok tanam itu menyenangkan.
Urban farming pun bisa menggunakan media tanam apa saja, salah satunya dengan teknik hidroponik, sebuah solusi bercocok tanam tanpa menggunakan media tanah, melainkan dengan menggunakan larutan mineral bernutrisi atau bahan lainnya yang mengandung unsur hara seperti sabut kelapa, serat mineral, pasir, pecahan batu bata, serbuk kayu, dan sebagainya.
Baca juga: Kolaborasi, Kunci Bangkitkan Intellectual Property dari Mati Suri
Salah satu contoh nyata adalah yang dilakukan oleh Venta Agustri, pemilik kebunsayur.co.id dari Surabaya. Ia mengembangkan urban farming dengan teknik hidroponik, berbekal lahan seluas 600 meter persegi dengan model pot talang panjang. Venta membudidayakan berbagai jenis selada hingga 10 jenis, di antaranya, leaf lettuce, iceberg, butterhead, dan endive. Hasilnya pun memuaskan, dalam waktu enam minggu tanaman siap dipanen, hasilnya bisa sampai 2 ton sayur. Selain itu Venta juga memberikan edukasi gratis mengenai urban farming yang sebenarnya sangat mudah, menyenangkan, dan dapat dilakukan di mana saja.
Lalu, ada juga Growbox yang diinisiasi oleh kawan-kawan alumni ITB dan UNPAD di Bandung, sebuah kotak sederhana berisi jamur tiram yang bisa dibudidayakan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Dengan kemasan berbentuk kotak yang simpel dan menarik, Growbox menawarkan pengalaman baru dalam kegiatan urban farming. Jamur pada umumnya tumbuh di daerah bersuhu 23-30 derajat Celcius dengan tingkat kelembaban lebih dari 70 persen, sama halnya seperti suhu ruangan kamar.
Salah satu co-founder Growbox, Aldi, menyampaikan bahwa masalah yang nggak terlihat seperti masalah, justru adalah yang paling berbahaya. Semakin urban, semakin canggih teknologi dalam hidup kita, nggak seharusnya juga diiringi dengan semakin jauh dengan alam dan kesadaran agrikultural dan lingkungan. Anak muda sekarang nggak boleh sekedar tahu jadi, makan tinggal makan, lupa petani, dan kurang menghargai bumi.
Baca juga: Nggak Usah Takut Dibilang Pencitraan
Kalau di luar negeri, nggak sekadar mempopulerkan urban farming, tapi sudah terbentuk pasar untuk beternak secara urban! A whole new level sih, kayak Urban Chickens dan My Pet Chickens ini. Jadi gimana caranya orang-orang kota bisa menghasilkan bahan makanan sendiri, gak sekadar protein nabati kayak kalau urban farming dengan berkebun, tapi juga protein hewani yang organik dari ayam dan telur-telurnya.
Dengan solusi teknologi urban farming ini, sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak berkebun jika berkebun ternyata bisa dilakukan dimana saja bahkan di sebuah kamar. Selamat berkebun!
Baca juga: Bicara Gunanya IT Untuk Organisasi
Header image credit: gratisography.com
Comments 2