“I’m continually trying to make choices that put me against my own comfort zone. As long as you’re uncomfortable, it means you’re growing.” – Ashton Kutcher
Generasi sekarang ini pasti sudah tidak asing dengan nasihat untuk meninggalkan zona nyaman jika ingin memperoleh kesuksesan. Nasihat yang menganjurkan kita untuk tidak bermain dengan santai lagi di tengah dunia yang semakin cepat berubah.
Saya sepenuhnya setuju dengan nasihat tersebut. Meninggalkan zona nyaman memang membuat kita lebih mudah memaksimalkan potensi diri. Namun saya mengamati ada satu hal yang kita lupakan ketika memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman. Kita tidak siap akan risiko stress yang akan dihadapi di tengah perjalanan kita mengasah potensi diri.
Baca juga: Berhenti Mencari Ide Brilian
Memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman kadang berarti berhadapan dengan berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan tingkat stress seseorang. Berbagai hal kita lakukan untuk berkembang yang terkadang bahkan sampai mengabaikan kesehatan, kebahagiaan, dan hal lainnya. Yang penting kita berkembang, berhasil menguasai suatu bidang ilmu, mencapai suatu goal, dan mendapat pujian dari banyak orang.
Lebih parah lagi, banyak yang lalu merasa bersalah jika dirinya tidak melakukan hal produktif sebentar saja. Sibuk menjadi tolak ukur jika kita produktif. Padahal jika kita memikirkan lagi, tujuan kita untuk mengembangkan diri salah satunya adalah untuk memperoleh kesuksesan sehingga kita memiliki lebih banyak waktu bersama orang-orang tersayang. Menjadi lucu jika sekarang kita malah merasa bersalah saat meluangkan sedikit waktu untuk bercengkrama dengan teman-teman.
Struggling tidak selalu berarti mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan demi kesuksesan. Karena sesungguhnya kita bisa saja memilih untuk tetap nyaman selagi mengembangkan diri. Kita bisa memilih untuk berlari tanpa terluka. Caranya? Mulai dengan menentukan tujuan. Start with purpose.
Baca juga: Why Passion is Overrated
Tapi lantas, tujuan hidup yang seperti apa? Yang mengejar kesuksesan personal, atau yang fokus pada memberi dampak dan jadi bermanfaat buat banyak orang. A man of value, kata Einstein. Opsi kedua, jelas lebih altruis dan mulia. Dan boleh jadi ini yang akan membebaskan kita dari luka ketika berlari. Sebab seperti kata pepatah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lainnya. Kalau berada di lintasan ini, rasanya kita nggak akan berlari sambil terluka-terluka banget. Soalnya percaya kalau tujuan kita baik, semesta bakal berkonspirasi untuk mewujudkan tujuan tadi. Tujuan yang nyangkut soal orang banyak, bukan tentang diri kita sendiri.
Beberapa orang terkadang tidak sadar jika alasan pengembangan dirinya selama ini adalah karena ingin menjadi sukses seperti orang lain. “Sukses seperti orang lain” menjadi tolak ukur kesuksesannya sendiri tanpa bertanya ke diri sendiri pekerjaan apa yang sebenarnya dia nikmati?
Take your time dan nikmatilah proses selagi kalian mengembangkan diri. Tak perlu sampai berdarah-darah dalam mengejar kehidupan dunia. Kita perlu meluangkan waktu sejenak untuk bertanya ke diri sendiri apakah selama ini kita menikmati prosesnya atau malah banyak terluka saat mengembangkan diri. Jika jawaban kalian adalah banyak terluka, maka kalian perlu mengevaluasi ulang tujuan hidup kalian.
Baca juga: Di Mana Ada Usaha, Di Situ Ada Jalan?
Header image credit: lifehack.org