Masih ingat TVRI dan RRI? RRI dikenal sebagai radio penyebar suara arek-arek Suroboyo, dan TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi yang berdiri di era peperangan. Sungguh legenda memang, namun kini jejak penyiaran mereka tak seharum namanya. Tergerus stasiun TV lokal maupun swasta yang lebih banyak menampilkan “variasi” tontonan dan hiburan.
TVRI dan RRI termasuk dalam apa yang disebut Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Tentunya, perlu kita ketahui bahwa sebenarnya LPP bukanlah sebuah lembaga komersil dan bukan lembaga yang dikontrol oleh pemerintah. Mereka memiliki fungsi yang jelas berbeda dengan lembaga penyiaran swasta yang lebih banyak menitikberatkan terhadap sajian entertainment. Beberapa perbedaan lembaga penyiaran publik di antaranya adalah fungsi pengawas sosial, korelasi sosial, dan sosialisasi yang tidak dimiliki Lembaga Penyiaran Swasta (LPS).
Baca juga: Televisi Media Pembodohan Massa Paling Ampuh
Namun, semulia-mulianya fungsi dan tujuan TVRI dan RRI, apakah berguna jika kontennya tidak menarik bagi masyarakat? Kurangnya kualitas dan kuantitas SDM membuat konten kedua media menjadi monoton dan kurang diminati. Jika audience bahkan tidak memasukkan TVRI dan RRI ke dalam pilihan stasiun televisi atau radio pilihannya, masih signifikankah peran TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik?
Jika situasinya terus dibiarkan seperti ini, lambat laun TVRI dan RRI harus mau berubah, sebelum perannya semakin menjadi tidak signifikan. Lalu, bagaimana caranya agar kejayaan LPP Indonesia kembali bangkit?
Baca juga: Kolaborasi Kunci Bangkitkan Intellectual Property dari Mati Suri
Langkah paling dekat dan konkret yang bisa dilakukan TVRI dan RRI adalah rebranding menjadi media yang lebih modern dan dinamis, karena image saat ini sudah tidak bisa diharapkan untuk menarik audience. Rebranding ini tentu harus diikuti dengan peningkatan kualitas yang konsisten, terutama pada SDM, karena talenta adalah kunci utama. Ekstremnya, TVRI dan RRI dapat mengganti seluruh jajaran manajemen dan menarik SDM dari media-media swasta dengan cara menawarkan financial benefit serta career opportunity terbaik di industri. Butuh dana dalam jumlah besar untuk mengimplementasikan hal tersebut, tetapi singkatnya, it’s all or nothing.
Jika tidak bisa diciptakan kualitas dan image yang konsisten, lebih baik kedua media ini dijual atau dibubarkan, sehingga infrastuktur dan budget yang digunakan untuk pengelolaan “setengah-setengah” ini bisa digunakan oleh pos-pos yang lebih membutuhkan.
Lagi-lagi, it’s all or nothing. Jika bukan saat ini, kapan lagi akan dibenahi?
Baca juga: Dusdukduk, Dari Sampah Jadi Barang Mewah
Header image credit: gratisography.com
Comments 1