-
Senior tidak pernah salah
-
Senior selalu benar
-
Jika senior salah, lihat pasal pertama
Pasal-pasal di atas, ngehits banget pas jaman-jamannya MOS (Masa Orientasi Siswa) SMA dan OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenal Kampus) waktu kuliah. Waktu jadi anak SMA kelas satu atau mahasiswa baru, kerasa lah ya senioritas dari kakak-kakak kelas. Entah itu dibentak-bentak, disuruh bawa yang aneh-aneh gak penting, bahkan disuruh melakukan sesuatu yang katanya mendidik padahal menurut mereka sih lucu. Bahkan, pada kasus ekstrem di instansi-instansi tertentu, malah nyerempet ke kontak fisik dan kekerasan. 🙁
Padahal kan gak gitu juga, orientasi yang artinya menunjukkan sesuatu, sikap atau arah yang benar pada saat kita akan memasuki masa SMA atau perkuliahan, berubah jadi hal yang menakutkan. Coba ketik keywords ‘ospek’ di Google, see?
Ini semua karena senioritas terlalu dijunjung tinggi, padahal sih ya, yang ngebedain junior dan senior itu cuma mereka masuk lebih dulu. Selain itu ya sama. Iya sih ya, mereka lebih tua, jadi harus dihormati. Tapi kalau mereka sendiri tidak menghormati? Mereka yang kayak begini akan kehilangan respect dengan sendirinya.
Baca juga: Nrimo Pangkal Dijajah
Ini gak terjadi di masa sekolah aja lho, di kantor-kantor, senioritas banyak banget terjadi. Ketika bos punya kekuasaan lebih, menyuruh anak buahnya semaunya, dianya sendiri gak ngapa-ngapain. Diprotes anak buahnya, si bos malah marah-marah. Ini kejadian seorang temen yang kerja di salah satu bank swasta, merasa dirinya kerja keras tetapi si bos malah cuma diem aja di ruangan banyakan main game, akhirnya resign dari bank swasta tersebut.
Padahal, ada lho sistem yang rasanya lebih fair dari sekedar senioritas yang melulu berorientasi sama umur dan faktor “lebih dulu masuk”. Namanya meritokrasi, yaitu sistem politik atau pemerintahan dimana para pemimpinnya dipilih berdasarkan prestasi dan kemampuan mereka.
Baca juga: Kantor Tanpa Kubikel
Misalnya di Singapura, rekrutmen dan penilaian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sana menggunakan meritokrasi, dimana yang menjadi PNS adalah yang punya prestasi dan kemampuan lebih. Pengangkatan jabatan dan gaji juga berdasarkan kinerja dan prestasi. Coba bandingkan di Indonesia, PNS yang masuk lebih dulu bakal mendapat gaji besar, walaupun kerjanya gitu-gitu doang.
Bahkan, kepala pemerintahan di Singapura mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibanding presiden di negara lain. Di Singapura, siapa yang berkontribusi tinggilah yang akan mendapatkan bayaran terbesar. Sistem kompetisi inilah yang membuat Singapura menjadi negara yang sangat maju. Nepotisme dan korupsi akan berkurang, birokrasi juga tidak akan ribet, karena memang posisi diisi oleh orang yang tepat.
Sistem meritokrasi belum populer dianut di iklim kerja sini. Para karyawan junior yang memiliki skill dan kemampuan lebih pun akan kesulitan untuk mendapatkan promosi jabatan. Kalaupun ada, jatohnya mikir negatif dan iri-irian. Nah, yang kayak gitu itu yang makin bikin susah meritokrasi diterapkan.
Baca juga: Jangan Mau Punya Mental PNS!
Meritokrasi sebenarnya bisa diterapkan dari awal, dari diri sendiri. Memang senioritas sering bentrok dengan meritokrasi. KIta sering malu kalau orang yang lebih muda atau junior kita punya kemampuan atau prestasi lebih, akhirnya kita cari-cari kesalahan orang. Kita harus fair, kalau memang ada yang lebih hebat dari pada kita walaupun itu junior kita harus mengakuinya, harusnya kita lebih terpacu agar tidak ketinggalan, bukan malah menggerutu, misuh-misuh cari kesalahan orang.
Sudah bukan jamannya lagi berpikir bahwa senior selalu menang. Kita nggak akan dapat berpikir maju dan profesional ketika terus berpikiran usang. Yuk, berpikir positif, senioritas bukan segalanya. Prestasi yang utama.
header image creadit: evolllution.com
Comments 1