“To be radical is to grasp things by the root.” (Karl Marx, Critique of Hegel’s Philosophy of Right)
Apa kalian selama ini merasa jadi pribadi yang menantang arus massa nan kekinian yang muncul di masyarakat mainstream? Misal saja kalian pendengar dan cinta mati akan musik indie yang menandakan bahwa kalian bukanlah si cupu yang hanya mendengarkan musik mainstream cinta-cintaan yang mendayu? Apakah dengan mendengarkan musik indie, menjadi vegetarian, mengkonsumsi produk-produk anti sweatshop adalah hal yang cukup radikal? Apakah dengan radikalisme yang kalian lakukan, akan begitu saja mengilangkan masalah kapitalis dan konsumerisme?
Sepertinya tidak, hal ini yang harus digarisbawahi mengenai menentang arus massa atau menjadi radikal. Saat ini, tanpa disadari radikal menjadi sebuah tren baru di masyarakat yang juga dimanfaatkan oleh beberapa kaum ekonomi untuk “menjual” beberapa perangkat ala-ala kaum kiri. Hal ini sudah jadi sebuah komoditas. Radikal saat ini tak hanya menjadi sebuah pergerakan, melainkan sebuah tren, lifestyle, bahkan budaya kapitalis konsumerisme.
Baca juga: Focus on the Fundamental
Industri-industri menjual produk berbeda dari produk yang ditawarkan dan diproduksi secara massal. Mereka yang menganut radikal ingin dilihat berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Menganggap bahwa mereka bukanlah korban dari iklan umum yang sering terpampang. Namun, coba kalian telaah kembali, bukankah dari sanalah konsumerisme baru muncul?
Mungkin mereka bukan korban iklan, namun mereka adalah korban dari rasa ingin berbeda. Dengan berbeda tersebut, mereka akan tampil lebih keren. Alhasil, produk produk baru muncul, produk-produk yang melebelkan dirinya adalah pendukung ‘radikalisme’.
Permasalahannya adalah, masyarakat menjadi lebih konsumtif dengan membeli segala macam hasrat tampil beda dan keren karenanya. Malcolm Gladwell, salah satu penulis The New Yorker Magazine, mengatakan bahwa keren adalah sesuatu yang abstrak dan tidak pasti. Keren dianggap dilihat dari hirarki status utama dalam masyarakat urban kontemporer. Secara hierarki, keren telah menggantikan kelas sebagai determinan utama sebuah gengsi sosial.
Baca juga: Intellectual Property: Matang, Siap Masak, dan Karbitan
Di sini, barang atau benda adalah sebuah status. Semakin orang tidak memilikinya semakin tinggi statusnya. Tak usah jauh-jauh, kemunculan era turntables atau vinyl saat ini semakin mewabah di kala MP3 digital sudah membosankan. Turntables hadir kembali untuk beberapa kalangan yang menolak adanya pembajakan secara digital. Lalu beberapa alat pemutar musik yang lebih marak di pasaran seperti VCD Player, ini adalah prestige sekaligus pembedaan, dan tentunya memiliki nilai eksklusivitas tersendiri, tak semua orang bisa memilikinya.
Tapi patut diduga, gegara mitos melawan arus ini, banyak orang yang paling menantang konsumerisme malah menjadi pemeran aktif dalam gerakan ini: “radikal yang menjual”.
Pada intinya, konsumerisme berakar dari keyakinan bahwa barang bisa menjadi media ekspresi dari identitas individu atau kelompok.
Baca juga: Renungan Hari Pendidikan Nasional: Siapkah Kita Berubah
Ketika konsumerisme berpadu dengan obsesi kebudayaan untuk mencari ekspresi diri yang lebih otentik, hasilnya adalah masyarakat yang secara kolektif terikat dalam sejumlah perangkap konsumerisme. Ketika semua orang berbondong-bondong untuk mengikuti budaya tanding tersebut, maka budaya tersebut secara tidak langsung akan jelas berubah menjadi budaya mainstream. Musnah sudah makna budaya tanding tersebut apalagi jika dijadikan komersial.
Joseph Heat dan Andrew Potter dalam bukunya “Radikal Itu Menjual : Budaya Perlawanan Atau Budaya Pemasaran” memberikan beberapa solusi atas masalah konsumerisme yang muncul karena adanya gerakan radikal. “Kekang timbulnya hasrat – hasrat membeli atau jika terlanjur, kekang dorongan untuk menurutinya atau lebih bagus jangan beli apa-apa”.
Baca juga: Belajar Kunci User Experience
Header image credit: wallpaperdj.com