Selalu akan ada seribu alasan bagi sebuah kelompok budaya untuk menolak inovasi teknologi tertentu.
Selalu akan ada kelompok orang yang berburuk sangka sama inovasi teknologi tertentu, dan menolak menerimanya. Entah itu karena gak sesuai budaya, sampai menyalahi ajaran agama. Semua hal punya sisi positif dan negatifnya. Tapi, kalau bisa bikin hidup jadi lebih baik, heran juga kenapa masih banyak yang antipati.
Dan emang nature-nya, selalu akan ada seribu alasan bagi sebuah kelompok budaya untuk menolak inovasi teknologi tertentu. Waktu kuliah, saya pernah ingat ada Teori Difusi Inovasi, yang menjelaskan bagaimana proses sebuah inovasi, ide, atau produk teknologi menyebar sampai diadopsi dalam sebuah kebudayaan. Teori ini membagi masyarakat jadi lima kategori: inovator, early-adopter atau para pengguna awal, early majority dan late majority, sampai ke kelompok yang paling resisten terhadap inovasi (laggards). Suatu faktor yang menghambat proses difusi ini, perilaku kelompok masyarakat dan sistem sosial yang mengakar di dalamnya.
Baca juga: Awas Terjebak Filosofi Ilmu Padi
Contoh yang terbilang miris adalah di bidang kesehatan. Difteri; penyakit menular mematikan yang menyerang saluran pernafasan; dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Padang dan Bandung. Anak-anak yang meninggal ini, ternyata yang nggak di-imunisasi sama orangtuanya.
Kalau mau flashback, tahun 2011 lalu di Jawa Timur, wabah Difteri menyerang ratusan anak, dan puluhan di antaranya meninggal dunia. Sampai tahun-tahun setelahnya, Difteri masih jadi satu isu tersendiri. Sampai hari ini, setelah empat tahun berselang, Difteri masih jadi KLB, lagi.
Baca juga: Pentingnya Menentukan Skala Prioritas
Ditarik lebih jauh, ternyata seiring dengan upaya himbauan pencegahan Difteri lewat vaksinasi, kelompok lain sibuk menyuarakan betapa katanya imunisasi melumpuhkan generasi. Kampanye Antivaksin memang ada sejak lama, membawa propaganda nyaru faktor budaya dan agama.
Lewat seminar, forum, dan diskursus publik offline dan online, menyeru lebih banyak orangtua mengabaikan vaksin dan imunisasi dengan alasan tidak dibutuhkan. Imunisasi adalah produk kimiawi komersil dari industri medis, konspirasi negara dunia pertama, tidak sesuai dengan konteks Indonesia, sampai soal efek sampingnya. Padahal, meski menjaga sedemikian rupa, tangan dan mata orangtua ada batasnya. Belum lagi, domino effect yang mutlak kejadian kalau udah mulai wabah dan KLB.
Baca juga: Industri, Waktunya Teladani Apel Gaya Militer
Dalih yang muncul: sakit dan sehat, hidup dan mati, semua di tangan Tuhan. Vaksin tidak menjamin apa-apa. Atau, yang lebih jerk, penggiat Aktivaksin untuk jualan produk herbal. Ada aja kan?
Mungkin terhadap kelompok Antivaksin, imunisasi dan vaksinasi bisa digolongkan sebagai failed diffusion, inovasi yang gagal diadopsi. Menuju Millenium Development Goals (MDGs) yang terwujud sempurna dan menyelamatkan generasi, memang harus menemukan cara baru dan mengeluarkan usaha ekstra. Bagaimana caranya agar mereka nggak berburuk sangka pada teknologi. Atau, bagaimana caranya agar setidaknya yang antivaksin nggak perlu menyebarkan propaganda agar lebih banyak orangtua urung menyuntikkan anak dengan antibodi dan zat bioaktif dalam imunisasi dan vaksinasi. Toh, kedua teknologi kesehatan ini secara statistik emang udah menurunkan tingkat keterjangkitan penyakit sampai 90 bahkan 100 persen.
Baca juga: Kalau Makan Aja Impor, Mau Jadi Apa?
Dalam proses difusi teknologi, ada elemen waktu, sistem sosial, dan channel komunikasi. Tantangannya adalah dalam deadline waktu tertentu, gimana mengkomunikasikan ke golongan laggards dengan sistem sosial mereka, bahwa teknologi ini bukan lahir untuk melumpuhkan generasi. Tapi justru menciptakan generasi yang lebih sehat. Bahwa ketika satu orang sehat, dia akan bisa melakukan banyak hal yang lebih bermanfaat.
Image header: picjumbo.com
Comments 1