“Arrived at <insert all-cool place>”
“Run <insert impressive number> miles in 50 minutes” via Nike+
“Strawberry and lemon for today’s infused water! Love!” #infusedwater #diet #healthy #nofilter #seger #drinks #life #daily #dansegambrenghashtaglain
Hari gini, siapa sih sekarang yang nggak mainan social media. Minimal Facebook, Twitter, Instagram, Path, udah itu paling pasaran. Udah rahasia umum bahwa mayoritas pengguna social media, jelas anak muda. Kata data GlobalWebIndex Wave, 98% pengguna internet di Indonesia punya social media. Kata Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2012), 87,8% penggunaan internet di Indonesia ya untuk social media!
Baca juga: Jangan Terlalu Gampang Kagum
Kebayang lah ya itu kayak apa. Pagi buka mata sampai tutup mata lagi malem-malem, yang diakses ya social media. Kita hidup kayak di dua dunia. Dari yang katanya social media itu untuk express, malah jadinya buat mati-matian impress. Iya, di social media kebanyakan kita mencitrakan diri, dan bikin online persona sendiri.
Apa aja sih yang dicitrakan di social media? Status, popularitas, prestasi, harta, gaya hidup sehat hobi olahraga, menikah, punya anak, bikin bisnis sendiri, “mengubah dunia”, jalan-jalan keliling Indonesia bahkan dunia, nongkrong sana-sini aktif banget kehidupan sosialnya deh, beramal, bikin kontribusi sosial, aktif di komunitas dan jadi volunteer, berkarya, dan lainnya.
Baca juga: Mau ‘Jalan di Tempat, Grak!’ atau ‘Maju, Jalan!’?
Iya, semua berlomba-lomba keliatan keren di social media. Padahal nggak ngaruh juga kehidupan di social media dengan kehidupan nyata. Kalo saya pribadi yang paling gerah ya kalau liat status ngeluh atau sok-sokan tegar gitu. Ah tapi intinya sih dunia online persona ini, semua bisa “mengedit” dan menampilkan sisi terbaik hidup. Atau bahkan menampilkan hidup impian kita, bukan yang sesungguhnya. Check in di tempat bergengsi, nggak ketauan kalo ngewarteg sendiri. Heboh kalau liburan, flooding timeline dengan foto-foto yang bikin iri. Belum lagi geng yang pamer ibadah, pamer kontribusi sosial. Social media, lama-lama jadi sarana riya.
Tanpa sadar, standar suksesnya hidup jadi ditentukan oleh circle kita di social media. Social media jugalah yang mendefinisikan hidup versi sempurna. Kita jadi kehilangan suara, tanpa sadar berusaha agar hidup kita sepadan dengan apa yang selalu tampil di Twitter, di Instagram, di Path, di Google+.
Banyak foto, tweet, dan update yang tampak sukses atau lebih bahagia, lalu kita menatap nanar, “kok bisa gitu ya”. Akhirnya kita galau-galau, trus nge-tweet. Padahal hidup mereka semua nggak ada hubungannya dengan kita, dan bisa jadi, hidup mereka nggak lebih baik dari kita. Lagi-lagi, balik ke online persona.
Baca juga: Rombak Pola Pikir
Jadi, ya sudahlah. Jangan termakan social media dan sempurnanya online persona di sana. Social media, mbokya digunakan untuk hal yang keren dan bermanfaat. At least jangan palsu-palsu amat. Habis berbuat baik? Habis ibadah? Kalem, kalem. Nggak semua detil harus diumbar.
Terus ngebanding-bandingin hidup kita dengan hidup orang lain lewat media sosial adalah hal yang aneh, apalagi kita sampai terpancing untuk bisa nandingin mereka. Ada banyak lain yang harusnya bisa dilakukan selain menanggapi hal-hal tersebut.
Udah banyak waktu yang kebuang buat mainan social media, sekarang kita masih nambah waktu kebuang lagi buat meratapi, iri atau cemburu dengan tweets atau foto-foto di social media. Masih banyak kehidupan lain yang bisa dicapai, kita fokus ke tujuan kita, lakuin sesuatu yang lebih baik. Get a life, a real one! Dan jangan pernah termakan online persona di social media. Itu aja.
header image credit: socialmediasmarketing.com
Comments 1