Does the quote “Expectation is root of all heartache” sound familiar to you? It’s said to be Shakespeare’s but it’s not. It blames the expectation but actually, we really should not.
Mulai ramai diberitakan, kepemimpinan baru Jokowi sudah masuk 100 hari. “A New Hope” yang dibanggakan rakyatnya ini, dilansir Time.com, harus menelan pil pahit bernama kekecewaan publik dan kemerosotan popularitas.
Banyak kalangan merasa sakit hati. Belum selesai perkara naik turun harga BBM, kasus rekening gendut calon Bapak Kapolri, kita udah dikasih lagi drama politik lainnya. Tarik menarik kepentingan, pelemahan lembaga negara KPK, skandal ketua sampai penangkapan wakilnya habis antar anak ke sekolahan. Berujung, lembeknya respon Bapak Jokowi yang menuai kritisi sana-sini. Belom lagi teror pembegalan motor di Depok (yang ini tambahan aja).
Sakitnya tuh di……*nggak jadi*
Baca juga: Apatisme Politik Udah Basi, Saatnya Anak Muda Lebih Peduli
Tulisan ini bukan ngomongin politik. Tapi gimana kebanyakan kita merespon konflik dan intrik. Ada aja sih yang bijak, objektif, dan positif *berasa kampanye*. Tapi ya, tetap sebagian ngerasa nyesel milih Jokowi kayak dikhianati. Sebagian lagi bilang, duh untung kemaren milih Prabowo, jadi sekarang nggak sakit-sakit amat rasanya ini hati. Sebagian lainnya semakin menjiwai quote galau di atas: expectation is root of all heartache, man!
Kalau gitu gue nggak mau berharap banyak, daripada malah sakit hati.
Sungguh bahkan dalam konteks galau percintaan pun orang nggak seharusnya berpikir se-manja ini. Bukan harapan yang bikin sakit hati, tapi cara kita menghadapi kenyataan yang nggak sesuai harapan. Kalaupun kita menurunkan ekspektasi, emangnya bakal terhindar dari sakit hati? Ya enggak. Terima aja, sakit hati itu udah kodrat Ilahi. Masih mending, tandanya itu kita masih punya hati. Tinggal kitanya aja pintar-pintar bangkit dan nggak larut sedih sendiri.
Baca juga: #ziliun17, Fakta Kepememimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta
Dibanding sumber sakit hati, mending kita pandang harapan sebagai sumber kekuatan. Kalau dulu Thomas Alva Edison terlalu takut sakit hati untuk mencoba lagi bikin lampu, dunia gelap sampai kapan kita nggak tahu. Tapi dia tetap membesarkan harapan sampai 9,999 kali gagal dan sakit hati, dan toh eventually hasilnya memenuhi ekspektasi. Atau, nggak perlu jauh-jauh ke masa lalu. Kalau kita tanya setiap entrepreneur sukses hari ini, yakin pada bilang bahwa harapanlah yang bikin mereka bertahan melewati masa sulit.
Jangan-jangan semakin besar ekspektasi kita, bukan semakin tinggi kans sakit hati. Tapi, semakin besar kemungkinan kita memperoleh kebahagiaan. Kenyataan yang sesuai, dan bahkan, melebihi harapan. Semakin besar kita memelihara harapan, semakin tinggi motivasi kita untuk mewujudkannya.
Apalai anak muda kayak kita (kita?), nggak boleh cengeng dan manja. Setiap ekspektasi punya risikonya sendiri. Bukan sumber sakit hati, tapi soal kita menghadapi segala situasi. Harapan harus tinggi, ya namanya juga hidup cuma satu kali.
Baca juga: Beda Belum Tentu Lebih Baik, Kenapa Harus Anti-Mainstream?
Header image credit: gratisography.com