Kita semua sering sekali mendengar kata “latah”. Kalau menurut dokter dan psikolog sih, latah adalah kegiatan peniruan secara spontan yang diakibatkan karena adanya rasa terkejut. Namun, saat ini sepertinya ‘’latah’’ bukan lagi masalah medis dan psikologi. Di Indonesia, latah telah menjadi budaya.
Kalau memang latah tersebut adalah budaya yang baik, maka hendaknya dilanjutkan. Namun, yang saat ini kita cermati adalah budaya latah yang semakin menuju arah kurang baik. Contohnya, tren latah budaya korupsi di kalangan para pejabat, tren latah dari dunia politik khususnya di bidang pencalonan diri ke parpol.
Well, pencalonan diri ke parpol memang sah-sah saja, bahkan banyak sekali warga Indonesia baik dari berbagai kalangan hingga anak muda pun berbondong-bondong menjajal ranah politik. Namun jika tidak dibekali dengan ilmu, pengalaman, dan mental yang sepadan akan dibawa kemana negeri kita ini? Lihat sendiri kan, poster-poster nyeleneh dan edan milik para (mantan) calon wakil rakyat ini.
Baca juga: Don’t burn the bridge!
Selain latah di bidang politik, zaman sekarang yang sedang berkembang adalah budaya latah dalam dunia hiburan. Sajian dunia hiburan yang selayaknya dan sepantasnya saat ini patut dilestarikan bahkan sungguh langka. Film kartun yang seharusnya diberikan untuk anak-anak, tergantikan dengan beberapa acara televisi yang memamerkan kekerasan, memperolok sesama, dan sederet rapor merah lainnya.
Televisi berbondong-bondong menampilkan acara dengan goyangan yang serupa, beberapa televisi menampilkan acara infotainment yang ternyata lebih bombastis ketimbang berita kelaparan dan kurangnya pendidikan di negeri ini.
Baca juga: Televisi, Media Pembohohan Massa Paling Ampuh
Tanpa kita sadari, budaya latah di negeri ini menjadikan mental-mental dari generasi penerus kita ini menurun, kualitas yang dikeluarkan akan selalu berpedoman kepada budaya latah atau yang biasa juga kita temui serupa di budaya “copy-paste” alias meniru. Originalitas masih belum dijadikan sesuatu hal yang sakral, alhasil copy paste menjadi jalan pintas yang instan.
Baca juga: Memimpikan Indonesia Serba Terbuka
Masalahnya, mental copy-paste udah tertanam sejak kita duduk di bangku sekolah. Seperti yang pernah Ziliun bahas juga di artikel tentang sistem pendidikan Indonesia yang menyesatkan. Kita didikte dengan definisi, dituntut untuk menghafalnya kata per kata, menjawabnya kembali di ulangan dengan presisi. Sistem pendidikan kita lebih berorientasi pada menghafal isi buku teks, bukan memahami konsep dan menerapkannya dengan cara kita masing-masing. Pelajaran menggambar gunung dan matahari yang sama, mengarang cerita dengan banyak aturan, yang kebanyakan sih soal cerita berlibur ke rumah nenek di desa.
Tanpa sadar, mental copy-paste kita bawa sampai dewasa.
Tapi, masak mau selamanya begitu? Enggak, jelas. Nggak perlu menyalahkan masa lalu. Udah saatnya kita jadi lebih berani. Berani mempertanyakan banyak hal, berani mengekspresikan gaya kita sendiri, dan jadi lebih kreatif. Bukan jamannya lagi kita belajar tentang kesamaan, tentang seragam dari ujung kepala sampai ujung kaos kaki.
Nggak ada yang salah dengan meng-copy dari sesuatu yang baik, tapi langsung di-paste? Things don’t work that way. Copy, dan modifikasi jadi jauh lebih baik lagi! Begitu seharusnya, bukan copy-paste yang membunuh kreativitas.
Kalau kita memang nggak ingin budaya latah ini terus terjadi, segeralah bergerak menjadi sang kreator. Bukan penjiplak dengan mental copy-paste. Jangan mau menjadi budak budaya instan dan budaya latah!