Banyak banget dari kita berlomba-lomba ngelawan arus utama. Sampai-sampai gerombolan anti-mainstream malah jadi yang mainstream. Padahal, kalau yang mainstream itu yang bagus, kenapa harus pengen keren dengan sok anti-mainstream?
“You have two choices in life: you can dissolve into the mainstream or you can be distinct. To be distinct, you must be different. To be different, you must strive to be what no one else but you can be.” – Alan Ashley-Pitt
Mainstream dan enggak mainstream (anti-mainstream, hispter, apapun istilahnya), masih jadi topik hangat khususnya di kalangan anak muda. Ketika mereka menemukan sesuatu yang baru, berbeda, dan unik, pasti diyakini hal tersebut akan menjadi tren. Budaya bisa dibawa melalui berbagai hal, mulai dari fashion, musik, bahasa, dan makanan.
Budaya mainstream adalah budaya arus utama yang mayoritas diselami oleh masyarakat luas, layaknya musik pop seperti yang dikatakan oleh Adorno: “Musik pop dilahirkan industri mengalami standarisasi. Ketika pola musik atau model lirik lagu tertentu laku di pasaran, pola tersebut akan terus menerus direpetisi dan diproduksi ulang. (Adorno dalam Strinati, 2007).
Baca juga: Tentang Menemukan Alasan dan Bikin Perubahan
Inilah komodifikasi: penyeragaman harus dilakukan atas nama merebut pangsa pasar, estetika seni harus dienyahkan dalam seni popular.”
Kemudian budaya anti-mainstream sendiri adalah arus yang menentang arus utama dimana manusia yang mengalir bersamanya tak sebanyak pada arus utama, bahkan lebih banyak memberontak. Contohnya saja pemberontakan atas adanya musik pop dengan kemunculan musik folk, punk, dan metal.
Baca juga: Jangan Termakan Online Persona di Social Media!
Namun, sayangnya saat ini, budaya anti-mainstream dan mainstream seakan tak memiliki perbedaan yang tak jauh beda, mereka berada dalam satu garis batas yang tipis. Semakin kita menggeluti arus anti-mainstream tersebut, ternyata kita turut larut dalam arus mainstream. Mungkin juga karena semakin masif gerakan anti-mainstream maka arus ini menjadi arus utama.
Pada dasarnya manusia, anak muda terutama, selalu ingin unik dan berbeda. Makanya banyak yang cuma ingin anti-mainstream tanpa melihat situasi. Dan ketika semua orang menjadi pemberontak, alih-alih ingin tampil berbeda mereka justru jadi seragam. Awalnya ingin berdandan nyentrik tapi lupa diri bahwa yang lain juga sama. Nggak ada bedanya.
Iya, bagi sebagian, anti-manstream emang “cool factor”-nya masih lebih tinggi dan bergengsi sih. Padahal mah engga. Nggak usah sok-sok anti-mainstream biar kelihatan keren. Untuk bayar taxi Blue Bird duit udah ngepas banget, malah maunya pake Uber yang masih hispter dan jatohnya keren banget. Nggak mau liburan mainstream ke Singapur atau KL, maunya yang hipster abis ke Iceland, atau Korea Utara malahan. Ya nggak papa banget, tapi bagus untuk kantong dan keamanan, nggak?
Baca juga: Kreativitas Bukan Barang Eksklusif
Pake masker, helm, sarung tangan, dan jaket tertutup kalo bawa motor, ya itu mainstream. Tapi bagus kan? Ya lakukanlah. Nggak usah jadi hipster dengan bawa motor tanpa helm dan cuma ngandelin sweater tipis kayak ke mall. Kalau yang mainstream itu bagus, kenapa nggak dilakukan?
Contoh konyolnya aja sih, di saat semua orang kalo searching di Internet pakenya Google, ya kamu pake Bing, atau AltaVista? (masih ada?)
Gagasan kayak gini bukan pertama kalinya dikemukakan, sih. Tapi ayolah, kita nggak boleh dibutakan sama keinginan untuk jadi “beda”. Kalau yang sama dengan orang lain itu memang bagus, dan merupakan jalan yang lebih baik, kenapa harus tetep sok anti-mainstream?
Baca juga: Xiaomi: The Company that Brings Global to the Locals
Ya, melakukan segala hal baiknya bukan tujuan menjadi berbeda, tapi menjadi lebih baik.
header image credit: wallpoper.com