Instead of going with the flow, or even against it, how about this: we are the water. We’re not fish in the water. So don’t just go with the flow, be the flow.
Ada yang bilang, sesekali kita butuh berserah dan ngikutin alur hidup. Manut apa kata suratan, ikuti alirnya dan tunggu berlabuh pada akhir yang membahagiakan. Soalnya rencana Tuhan selalu indah. Kalau kata hipster, kita hidup harus melawan arus. Menjadi unggul karena berbeda. Tapi ya mungkin sebenernya hidup bukan sekadar soal ngikutin atau ngelawan arus, tapi menjadi arus. Seenggaknya untuk diri sendiri. We’re the flow, the energy.
Pocahontas mengibaratkan sungai dengan kehidupan. Berarus, bercabang, deras, dalam, beriak, menghanyutkan, macam-macam. Hidup punya banyak persimpangan, pilihan, kesempatan. Ya sejatinya hidup adalah kumpulan dari dinamikanya itu semua. Banyak hal yang di luar kuasa kita, makanya manusia memeluk agama dan percaya Tuhan sebagai rasionalisasinya. Tapi sehari-harinya, lebih banyak lagi hal yang bisa kita kendalikan, kita pilih. Mulai dari hal seremeh mau makan apa, dimana, mau ketemu siapa, mau kuliah apa, mau kerja di bidang apa, milih partner bisnis sampai partner hidup, banyak.
Seorang kawan lama, mimpinya jadi dokter. Lulus SMA, dia diterima lewat jalur tanpa tes di Fakultas Ilmu Komputer, salah satu kampus terbaik di Indonesia di pinggiran Jakarta. Sementara itu dia juga diterima Kedokteran di kampus yang nggak kalah kecenya, di Jogja. Tapi kalau mundur jalur tanpa tes ini, sekolahnya kena blacklist. Junior bakal jadi tumbal susah masuk Fasilkom, denger-denger.
Baca juga: Nggak Usah Takut Dibilang Pencitraan
Entah gimana akhirnya kawan saya masuk Fasilkom, untuk sementara mengesampingkan mimpi jadi dokter tadi. Tahun berikutnya, ia ikut lagi SPMB ngincer Kedokteran, gagal. Baru berhasil di kesempatan terakhirnya ikut SPMB, setelah 2 tahun ngejalanin kuliah Ilmu Komputer. Hari ini anaknya udah disumpah dokter, membangun startup, dan berjuang ngejar spesialis. He made the call, and got what he’d always wanted.
Kalau dia nggak bisa bikin keputusan untuk dirinya sendiri (terlepas tepat enggaknya, baik buruknya keputusan itu), ceritanya pasti akan beda. Mungkin titel dokter itu nggak akan pernah ada juga. Para entrepreneur kondang yang sekarang besar dengan bisnisnya, dulu pun mengalami momen krusial resign kerja untuk fokus membangun usaha. Pada akhirnya yang membuat keputusan untuk hidup dan masa depan, ya cuma diri kita sendiri. Orang boleh bilang A-Z, tapi pelatuknya ada di jari kita.
Baca juga: Menghargai Sejarah Indonesia Melalui Novel Grafis
Akhir-akhir ini saya mengerti bahwa untuk dihargai orang lain, kita harus bisa membuat keputusan untuk diri sendiri. Bagi orang yang (mengklaim) terlahir dengan karakter indecisive dan pasif, bikin keputusan bisa jadi tantangan besar sih, ngerti banget. Tapi ya skill ngambil keputusan ini toh bisa dilatih mulai dari mengenali diri sendiri, bikin keputusan dari hal-hal kecil, sampai ke skala besar yang sifatnya ngubah kehidupan total ke depan.
Membuat keputusan untuk diri sendiri, menghindarkan kita dari ngelakuin hal secara setengah-setengah. Diri kita yang paling tahu prioritas hidup, kebutuhan, keinginan, rencana ke depan, mimpi, angan, masa depan, dan segala hal besar yang nggak akan tercapai dengan langkah setengah hati. Menjadi arus, butuh 100% curahan energi dari kita.
Kalau udah gini, “jalanin aja” dan “liat aja ke depannya” jadi haram hukumnya. Still got unfinished business? Better hurry and make decision for yourself. Only dead fish go with the flow. But we’re not even fish. Time to be the flow.
Baca juga: Tentang Menemukan Alasan dan Bikin Perubahan
Header image credit: commons.wikimedia.org