Ngomongin bisnis emang ngga ada habisnya! Kadang kita lagi kagum banget sama satu bisnis yang lagi hits. Eh, ternyata setahun-dua tahun kemudian, bisnis itu udah ngga ngetren lagi. Trendsetter-nya mulai pudar, apalagi followers-nya yang terpaksa gulung tikar. Tapi ini jangan bikin kita patah arang. Belajar aja yuk sama mereka yang bisnisnya bertahan lama!
Di Jogja, ada satu bisnis yang begitu melegenda. Dagadu namanya. Nah, pemilik Dagadu, A. Noor Arif, sempat jadi pembicara di GAPURA, sebuah konferensi bisnis bulan Maret lalu. Tim Ziliun yang lagi kesasar ikut acara itu jadi denger juga sharing seru dari pria yang suka pake topi ini.
Ngga salah dong kalo kita bilang pak Arif ini jeli banget. Dia sadar kalo kota tempat dia tinggal, Jogja, memang kota Pariwisata. Dia juga ngga nemu produk khas Jogja yang buat anak muda. Kebanyakan malah handicraft yang buat dekorasi rumah.
Akhirnya, Dagadu mulai jualan souvenir ala anak muda pada tahun 1994. Mereka memproduksi dan menjual produk cinderamata alternatif dari Djokdja berupa kaus oblong, gantungan kunci, gambar tempel, topi, dan pernak-pernik lain yang memuat rancangan grafis dengan tema-tema kepariwisataan dan lingkungan binaan kota Yogyakarta. Dagadu emang terkenal sama berbagai macam produk oleh-oleh Jogja dengan desain yang berkarakter, menarik, dan unik-unik sih. Kekuatan desain ini juga lah yang jadi magnet tersendiri bagi konsumennya. Apalagi anak muda!
Dagadu Djokdja lahir dari sekumpulan individu yang memiliki kesamaan minat dalam masalah-masalah kepariwisataan, perkotaan, dan apresiasi desain grafis. Hampir seluruh anggotanya adalah mahasiswa dan alumni Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Untuk tetap menjaga originalitas produknya, Dagadu-Djokdja tidak membuka gerai-gerai di luar kota Jogja. Pembeli dari kota-kota lainnya, diakomodir lewat toko online di website mereka.
Menginjak 20 tahun berdirinya, Dagadu masih kokoh di Jogja. Pak Arif juga menunjukkan kepeduliannya ke kota pelajar ini. Ia mendirikan Yogyakarta Tourism Laboratorium (Yogyatourium) untuk memfasilitasi kreativitas anak-anak Jogja. Yogyatourium ini bisa menjadi ikon sosial budaya. Pemiliknya udah dari tahun 2009 nabung untuk mewujudkan impiannya ini. Impian yang bermanfaat buat orang lain, tentunya.
Selain berkontribusi buat kotanya, Dagadu juga merambah ke dunia maya mengikuti perkembangan zaman. Buat orang-orang yang ngga bisa ke Jogja atau yang kelupaan bawa oleh-oleh, bisa beli produk mereka secara online.
“Sekarang orang dari negara tetangga yang kangen Jogja bisa buka website. Terus pesan (produk kami) lewat website,” papar Pak Arif.
Terus, toko Dagadu yang di Jogja bisa jadi sepi dong ya? Ternyata ngga juga. Pak Arif pake strategi khusus. Barang-barang yang dijual via online itu desain lama. Makanya, ada promosi dan diskon spesial buat yang online shopping. Meski baru mendapat 5% revenue dari penjualan online ini, Pak Arif percaya memang prospeknya besar banget di masa mendatang.
Terlebih lagi, pria yang memulai usaha sejak muda ini memakai etika yang sama antara berjualan online dan offline. Biarpun lewat teknologi, Pak Arif ingin tetap berinteraksi dengan pelanggan. Kalo ada pelanggan yang sudah beli, terus ternyata ngga cocok dengan warnanya atau jahitannya jelek, bisa diganti dengan yang lain.
“Pernah ada pembeli dari Timur Tengah. Beli sweater rusak, ya dikirim lagi ke sana. Akhirnya malah jadi konsumen yang loyal,” kisahnya.
Nah, ini nih pesan yang penting buat semua pebisnis di luar sana! Teknologi jangan cuma dipandang praktis aja, terus lupa kalo pelanggan adalah raja. After-sales service itu penting! Kita harus keep in touch dengan pelanggan kita. Servis ke pelanggan bisa secara online juga kok. Pelanggan pun bisa percaya dengan kita, layaknya toko konvensional.
Seperti kata Pak Arif, bisnis online dan offline itu punya etika yang sama. Secara offline, Dagadu jelas ngga diragukan lagi kesuksesannya. Tapi kita perlu makin salut, karena ketika Dagadu juga merambah ke dunia online, mereka bisa mempertahankan ciri khasnya yang begitu langka. Bukan hanya populer dalam kurun waktu setahun, melainkan bisnis yang tak lekang oleh waktu.
Image header credit: aninandhita.wordpress.com