UX is not all about design, but also text, program, code, and the whole nine yards.
Saya baru-baru ini familiar dengan kata-kata UI dan UX yang merupakan singkatan dari User Interface dan User Experience. Kalo yang saya tangkep dari baca-baca dan dijelasin orang-orang sih, UI itu merujuk pada tampilan dari suatu produk atau sistem – khususnya aplikasi web atau mobile – dan UX merujuk pada pengalaman, perasaan, dan persepsi user terhadap produk tersebut.
Berhubung judulnya designer, banyak orang pikir kalau kerjaannya UX designer itu berhubungan dengan desain-mendesain grafis atau tampilan aja. Padahal, tampilan itu cuma satu dari sekian banyak kerjaannya seorang UX designer. Mulai dari ngerti research, bisa menganalisis data, sampai gimana mengimplementasikan hal tersebut ke dalam sebuah aplikasi secara efektif.
Baca juga: Design Sprint: Desain Produk dalam 5 Hari
Profesi sebagai UX designer emang masih jarang banget di Indonesia. Ngga ada tuh yang namanya pendidikan formal untuk belajar UX, jadi biasanya, UX designer yang saya kenal itu adalah programmer yang suka desain, atau sebaliknya, desainer yang belajar programming. Padahal ternyata, UX itu kerjaannya lebih dari sekadar ngedesain dan ngoding. Karena tujuan UX design untuk meningkatkan kepuasan imelalui pengalaman interaksi dengan produk yang baik, makanya ngga cukup cuma sekadar program yang canggih atau desain yang menarik.
Minggu lalu, saya habis ketemu dan ngobrol-ngobrol dengan Vina Zerlina, seorang UX designer dari Amazon.com yang kerja di kantor Amazon pusat di Seattle, Amerika Serikat. Vina sharing soal kerjaan dia sebagai UX designer di salah satu perusahaan e-commerce terbesar di dunia ini.
Baca juga: #ziliun17: Top Ilustrator Indonesia
Menurut Vina, ada beberapa hal yang harus dikuasai seseorang kalau mau jadi UX desainer.
1. Fokus pada user. Who are they? What do they need? What is their problem? How can we solve the problem? Selalu lihat masalah dari kacamata pengguna, dan tawarkan apa yang terbaik buat mereka. Cara paling gampang, tanya dan dapetin feedback dari user.
2. Kemampuan melihat dan menyelesaikan satu masalah dari berbagai sisi. UX is not all about design, but also text, program, code, and the whole nine yards. Ketika kita diberikan satu masalah, gimana menyatukan dan mengkompromikan semua faktor yang ada, sehingga menjadi sebuah solusi yang komprehensif. Makanya, punya tim yang kompak dan solid itu penting, sehingga ada yang bantu kita untuk cari ide dan mikir pemecahan masalahnya, biar ngga pusing sendiri!
3. Rely on data. Start from research. Ketika sesuatu dimulai dari data, kita ngga akan berasumsi. Kalau ragu-ragu, cek lagi datanya, bener ngga sih? Ketika kita tidak berasumsi, maka diharapkan hasilnya akan akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Baca juga: To Copy or Not To Copy: The New Airbnb Logo
4. Keeping things simple. Jangan sampe kita cuma sok-sokan mau bikin sesuatu biar kelihatan keren, padahal ngga ada gunanya, atau yang lebih parah, bikin jadi super ribet. Ini bukan soal pamer skill ngoding, tapi gimana menempatkan keahlian kita untuk efektivitas dan efisiensi.
5. Never settle. Hal paling dasar dari mendesain UX adalah iterasi, mengulang dan mengecek kembali proses yang sudah dilakukan. Apa saja yang bisa diperbaiki, dan gimana supaya bikin produk tersebut semakin sempurna. Kuncinya adalah ngga pernah puas.
Baca juga: Berguru pada Pemilik Dagadu
Header image credit: picjumbo.com
Comments 1