Pembajakan bisa di-handle dengan model bisnis yang inovatif. Pekerja seni gak perlu takut untuk terus berkarya, dan inovator harus terus berpikir gimana bikin industri ini berkembang.
Kalau dulu generasi 90-an mau hemat nonton film dan dengerin musik, pasti pada beli CD atau VCD (waktu belum ada DVD) bajakan di pedagang kaki lima. Sekarang, mau “ngebajak” tinggal download lagu di 4shared atau download film pakai Torrent.
Sebenarnya, ngebajak itu kan sama aja ya dengan mencuri, tapi kenapa semua orang ngebajak ya? Alasannya ada dua: 1. Karena murah, dan 2. Pengen cepet. Misalnya, artis favorit di US ngeluarin album baru dan CD-nya belum masuk Indonesia, udah kebelet dong pastinya. Terus kalau ada film-film baru yang di bioskop udah gak tayang tapi DVD originalnya juga belum ada di toko, ya mending torrent aja. Apalagi serial TV yang biasa kita tonton marathon sampai gak tidur, ya kali deh harus nungguin episode-nya tiap minggu kayak dulu nonton Doraemon tiap Minggu pagi.
Apa itu berarti fenomena piracy gak punya solusi dan para seniman dibiarkan rugi? Tentu gak. Solusinya ada yaitu model bisnis yang tepat. Kita ambil contoh Netflix, yang bisa dibilang “menyelamatkan” industri film dan televisi di Amerika.
Baca juga: Belajar Dari Cerita Hewlett-Packard
Netflix awalnya cuma bisnis penyewaan DVD biasa, dengan layanan delivery DVD ke rumah. Bedanya, konsumen gak membayar biaya sewa per DVD, tapi pakai biaya langganan per bulan untuk jumlah DVD yang gak terbatas. Mulai awal 2007, Netflix merombak model bisnisnya menjadi penyedia video on demand di Internet, melihat penjualan DVD sudah mulai turun saat itu.
Jadi, pelanggan Netflix cuma perlu membayar biaya langganan sekitar $17, lalu bisa nonton film dengan sistem streaming (bukan download, agar gak ada pembajakan) untuk total durasi 17 jam. Netflix juga merilis serial TV dalam full season, supaya penonton bisa mengatur sendiri waktu mereka nonton tiap episodenya.
Penonton sekarang ingin kebebasan dan full control. Dengan slogan “Watch TV shows & movies anytime, anywhere” itulah yang Netflix coba berikan. Kalau kata Kevin Spacey dalam pidato fenomenalnya di Guardian Edinburgh International Television Festival 2013:
“Give people what they want, when they want it, in the format they want in, at a reasonable price, and they’re more likely to pay for it rather than steal it”.
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia Lewat Arsip Musik Digital
Di industri musik, kita juga punya Spotify, layanan streaming musik komersil yang memberikan akses ke jutaan lagu dalam format digital, tentunya dengan beberapa restriction untuk perlindungan hak cipta. Dan industri musik justru lebih diuntungkan lagi dengan model bisnis seperti ini, karena konon semakin banyak orang yang mengakses lagu, maka semakin banyak yang akan membeli tiket konser.
Kesimpulannya? Pembajakan bisa di-handle dengan model bisnis yang inovatif. Jasa streaming berbasis Internet juga bisa mendorong seniman-seniman indie, gak cuma mendorong penjualan mereka yang sudah komersil. Pekerja seni gak perlu takut untuk terus berkarya, dan inovator harus terus berpikir gimana bikin industri ini berkembang.
Kalau di Indonesia penetrasi Internet makin meluas, dan orang-orang makin melek teknologi, bukan gak mungkin kita punya Spotify atau Netflix sendiri. Dare to create one?
Baca juga: Art vs Design
Header image credit: gratisography.com