“Konglomerasi media belum sejahterakan jurnalis.” – Ucu Agustin, Di Balik Frekuensi
Media mainstream versus media alternatif, mungkin terdengar sedikit berat ini topiknya. Semacam menitikberatkan adanya ranah akademisi yang memang menjadi saklek dalam ilmu pendidikan. Bicara media, jika kita menyadari lebih lanjut, media yang selama ini kita temui dalam kehidupan sehari-hari seperti televisi, koran, majalah, dan radio merupakan media mainstream. Media konvensional atau media massa, adalah bagian dari pers.
Dengan adanya pers, sebenarnya suara masyarakat jadi tersalurkan. Media memiliki peran sebagai penengah dari komunikator dengan komunikan. Dengan begitu, pesan yang diinginkan pun akan tersampaikan dengan baik. Namun, dewasa ini banyak media yang mulai dianggap lalai dalam melakukan perannya sebagai “penengah”. Banyak media yang kian hari terlalu mementingkan kepentingan si empunya, sebut saja budaya konglomerasi media.
Baca juga: Tentang Menemukan Alasan dan Bikin Perubahan
Sebagai media dari kebebasan bereskpresi lewat media mainstream, beberapa kalangan membuat memilih untuk membuat media sendiri. Media tersebut sangat populer, biasa dikenal dengan Zine. Jika ditarik benang merah, Zine adalah sebuah media alternatif non komersial dan tentu saja non profit yang dipublikasikan sendiri oleh penulis. Zine biasanya terdiri dari perorangan maupun kolektif. Media yang satu ini memilih untuk mendobrak batasan yang ada dalam etika penulisan, dan dikerjakan secara non konvensional. Tak ada deadline yang mengikat, tak ada tata bahasa yang baku, dan mendesain layout alakadarnya.
Cara pembuatan Zine pun cukup mudah, diproduksi dengan proses fotokopi atau cetak sederhana apapun dalam jumlah yang terbatas. Sebagai media non profit, Zine biasanya tidak dijual, atau bisa juga minta ganti biaya fotokopi saja. Sedangkan jika seseorang adalah pelaku pembuat Zine, maka mereka biasanya barter Zine atau iklan Zine.
Baca juga: Creative Commons, Melegalkan Karyamu Secara Gratis
Namun, di era digital saat ini, Zine tak hanya ditemui dalam bentuk cetak, tetapi juga online. Welcome 2.0 era! Walaupun memang tidak ada esensi DIY dalam proses percetakan, namun esensi DIY disini menjadi bergeser ke dalam hal kolektif seperti pembuatan website yang dikerjakan bersama-sama, satu tujuan yang dikerjakan bersama-sama. Tak banyak memang masyarakat yang hingga saat ini memiliki semangat kolektif. Di sini, Zine online berusaha membuat habit tersebut.
Salah satunya adalah Disorder Zine, webzine musik dan budaya independen yang diinisiasi sejak 2013 oleh Raka Ibrahim dan Zaka Sandra Novian. Dengan usia yang masih terbilang muda, 18 tahun dan 22 tahun, dua kawan ini berinisiasi untuk mengumpulkan beberapa anak muda yang sama-sama memiliki visi misi kolektif dan mau meluangkan waktunya untuk bergerak dalam sebuah perubahan yang membangun..
Baca juga: Memimpikan Indonesia Serba Terbuka
Webzine kolektif yang berbasis di Jakarta ini memiliki kontributor di Jakarta, Malang, Magelang, Surabaya dan Bandung. Disorder ingin mendokumentasikan scene musik dan budaya independen di Indonesia dan luar negeri, serta menggali ide, kisah, dan perspektif yang baru, tersembunyi, dan terlupakan melalui karya feature mendalam, ulasan, esai, prosa, cerpen, dan visual art. Hingga sampai saat ini, Disorder Zine masih memilih untuk menjadi media Zine berbasis online karena agar sistem penyebarannya lebih mudah dan luas.
Jadi sebenarnya, media adalah sebuah perantara yang tak hanya dapat diciptakan oleh beberapa orang yang terlibat dalam konglomerasi media. Ketika mereka mulai melakukan sebuah kecurangan, maka bergeraklah, buatlah sebuah perubahan. Saat ini segala macam kecanggihan dapat membuat kita lebih optimal dan bermanfaat karena ini adalah era mobile.
Baca juga: Jangan Mau Punya Mental PNS!
Dan kawan, marilah kita selalu berkarya, berbagi, dan tetap bersenang-senang. Boleh banget bikin media alternatif asal jangan lupa untuk selalu kreatif. Mari berkarya dan bersuara!
header image credit: osisa.org
Comments 1