Suatu kali ketika saya nebeng bokap ke stasiun kereta, seperti biasa doi selalu mencuri-curi kesempatan untuk membekali saya dengan khotbah singkatnya. Kebanyakan sih bener, meski nggak jarang juga yang jatohnya jayus.
“Kalau mau jadi pengusaha, kamu mesti belajar dari banyak angle,” kata bokap dengan gaya provokatif khas dia. “Termasuk angle yang beda 360 derajat, kayak banker contohnya.”
“Gimana?” Saya bisa ngelihat jelas raut “Glad-you-asked!” dari tampangnya yang lagi ngadep jalanan di depan.
Kedua tangan bokap tetep megang setir ketika dia mulai angkat cerita. “Banker cenderung punya mindset yang kebentuk untuk jadi safe-player. Cari aman. Jadi kalau dikalkulasi nggak bagus ke depannya, mereka nggak bisa ambil resiko untuk gagal.”
Saya ngangguk satu kali. “Bank itu high-regulated, punya peran dan resiko besar. Setiap karyawannya harus tetap ngejar target tapi dengan tetap prudent. Begitu hati-hati. Mereka harus melakukan analisa proposal bisnis lah, harus ikutin prosedur dan birokrasi lah.” lanjut bokap. “Beda ketika kamu ngerintis usaha. Pengusaha itu harus risk-taker. Bahkan ketika banyak yang nganggep remeh, pengusaha harus tetep kuat mental dan maju.”
“Tapi soal maintain relasi dan memperluas koneksi, harus banget belajar sama manajer-manajer di bank itu,” tutup bokap.
Dari situ, anggukan saya nambah satu kali. Dan petuah singkat bokap pagi itu sedikit banyak terasa relevan ketika saya denger langsung cerita dari Arlita Tiarasari, pemilik Sepatukubaru.
“Aku ini dulunya 6 tahun kerja di bank asing,” ungkap Arlita mengawali cerita. Ia adalah pemilik Sepatukubaru, bisnis sepatu handmade khusus perempuan yang bisa di-custom sesuai rikues pelanggan. Dengan media online sebagai basis promosinya, Sepatukubaru sekarang sih udah jadi merek yang terdaftar di HAKI dan populer lewat beberapa kali ikutan ajang Jakarta Fashion Week.
Sepatukubaru berawal dari masalah besarnya Arlita: size kaki yang telalu besar untuk rata-rata perempuan pada umumnya.
“Aku nangis darah dulu kalau nyari sepatu. Size 42 dong, gimana nggak susah nyari sepatu cewek yang oke segede itu,” kisahnya. “Apalagi pas udah hamil tuh, kaki makin bengkak aja. Padahal harus tetep kerja dan banyak ketemu klien di mana-mana,” kata Arlita yang emang spesialisasinya nanganin premium customer.
Dengan masalah itu, Arlita ngubek-ngubek seisi Jakarta untuk nyari dimana ia bisa bikin sepatu handmade yang fit dengan kaki 42 “plus plus”-nya. Setelah ketemu satu yang bisa dijadiin langganan, ibu dua anak yang kini berusia 36 ini mulai memprospek sang penjahit untuk jadi vendor sepatu-sepatu yang ia desain sendiri.
Dimulai dari pamer seadanya di akun social media, ternyata banyak yang tertarik. Nggak cuma dari temen dan keluarga sendiri, tapi juga dari luar-luar negeri! Jadilah Arlita resmi menerbitkan sepatu-sepatu ready stock maupun custom order mulai dari ukuran 35 sampai 45, di bawah label sepatukubaru.com.
Ini oke sih. Dari masalah, jadi anugerah. Selama setahun pertama, Arlita fokus nyari rekanan karena belum ada modal untuk bikin workshop sendiri. Setahun setelahnya ia baru bisa nafas agak lega karena website udah jalan, udah ada workshop sendiri, dan dapet support penuh juga dari suami.
“Saat itu aku posisinya masih sebagai banker dengan privilege macam-macam. Nggak gampang untuk resign, karena itu artinya aku ngambil langkah besar dengan resiko yang juga nggak kecil,” kisah Arlita. “Jadi proses itu aku jalani pelan-pelan, dan ngeliat gimana income dari usahaku juga. Yang awalnya aku 100% total di bank dengan penghasilan dari sana, lama-lama berkurang terus porsinya, sampai titik di mana Sepatukubaru butuh 100% fokusnya aku, karena kualitas kan nggak bisa ditawar,” cerita Arlita waktu akhirnya memutuskan mengakhiri 6 tahun masa “sekolah”-nya di sebuah bank asing swasta bilangan Jakarta Selatan.
“Aku pernah punya cita-cita, seenggaknya di umur 35 aku nggak lagi nurutin pekerjaan yang jadi maunya orang tua. Tapi bikin usaha sendiri dan meluangkan banyak waktu untuk keluarga,” dan syukurnya, mimpi Arlita ini tercapai dengan bantuan bilangan karyawan yang membantunya di divisi workshop maupun sales. Sebelumnya sih, Arlita sendiri yang getol bongkar pasang sepatu orang untuk belajar.
Lama masa kerja Arlita di bank emang udah nyaingin masa belajar kita di SD dulu. Tapi bukan karena lantaran itu pekerjaan ideal orang tua, Arlita jadi nggak belajar apa-apa. Dengan jam terbang yang tinggi itu, Arlita fasih banget soal pentingnya maintain hubungan dengan pelanggan.
“Aku percaya banget sama kekuatan sale services. Bukan cuma sampai mereka bayar dan dapet sepatunya terus udah, tapi justru setelah itu yang krusial: after sales service!” kata Arlita. Di Sepatukubaru, ia mengedukasi timnya untuk selalu ramah dan keep in touch sama pelanggan. “Jadi setelah selesai urusan, ya kita nggak ninggalin mereka. Kita tanya gimana feedback-nya, dan kita ngasih kesempatan untuk revisi sepatu kalau mereka nggak puas, gratis. Tapi tentunya selama itu bukan karena kesalahan pelanggan ya kayak salah nyimpen sampe jamuran atau gimana.” katanya tegas.
“Kunci bisnis online yang nggak ketemu muka ini kan ada di kepercayaan. Testimoni dan word of mouth itu ngaruh banget di era internet kayak gini. Kalau kita cuma nongol sekali-kali terus ngilang, gimana bisa orang percaya? Jadi ya penting untuk terus ngeksis di online,” jelas Arlita nyeritain gimana ia terus ngupdate mulai dari proses produksi di workshop, sampai posting testimoni pelanggan yang ia simpan.
Sepatukubaru nggak sekedar ngeladenin orderan dan jaga hubungan dengan pelanggan sih. Lewat bisnis ini, talenta Arlita juga jadi solusi bagi masalah sosial. Sepatu ini remeh, tapi krusial. Banyak sekali orang dengan struktur kaki yang “berbeda”, entah itu variasi normal atau memang karena sakit. Kaki-kaki yang nggak ideal ini, cuma bisa dibantu dengan sepatu berkualitas yang khusus didesain untuk kaki mereka.
“Meski belum ada CSR dalam bentuk besar, Sepatukubaru pengen banget bantu mereka yang punya kelainan, mutasi gen seperti Edward’s syndrome, diabetes, skoliosis; untuk bisa jalan dan pakai sepatu dengan nyaman,” papar Arlita Tiarasari menutup ceritanya.
Header image credit: gratisography