Tahun 2015 ini adalah tahun dimulainya kesepakatan ekonomi bersama ASEAN yaitu Asean Economic Community. Pertanyaannya, bagaimana para pekerja kreatif Indonesia siap bersaing dengan pekerja kreatif negara tetangga jika kita belum mampu mem-valuasi kemampuan SDM kreatif dalam negeri?
Pemerintahan Jokowi nampak serius sekali menggarap ekonomi kreatif. Setelah hampir dua periode pemerintahan SBY mencoba mengelola ekonomi kreatif lewat kementerian, kini presiden menganggap cara yang lebih efektif adalah dengan membuat lembaga di luar kementerian yang posisinya langsung di bawah pengawasan presiden. Namun, sudah benarkah arah dan misi sesungguhnya dari jargon ekonomi kreatif ini? Jangan-jangan hanya akan jadi lembaga yang sama dengan kementerian dua periode kemarin, yang gamang menentukan arahnya mau kemana?
Ekonomi kreatif a la pemerintah Indonesia ini dibawa dari konsep ekonomi kreatif milik pemerintah Inggris, yang pada awal tahun 2000-an menyadari betapa aset bangsa yang dilahirkan sebagai produk kreatif mampu memberikan pemasukan besar bagi pemerintah Inggris. Konsep ini dimatangkan sedemikian rupa demi meningkatkan pemasukan negara (ekonomi) dari sektor usaha yang berbasis kreativitas.
Kesuksesan ini nampaknya menggiurkan SBY saat itu dan memutuskan untuk ikut menjalankan konsep ekonomi kreatif ini di Indonesia. Terbentuklah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau lebih dikenal dengan Kemenparekraf. Sayangnya selama hampir 10 tahun perjalanan kerjanya, belum nampak kisah-kisah sukses dari kementerian ini.
Baca juga: Kreativitas Bukan Barang Eksklusif
Para pekerja dan perusahaan di bidang kreatif masih berjalan sendiri tanpa ada sentuhan atau terbantu dari kementerian ini. Seolah-olah tanpa kementerian ini pun mereka akan tetap jalan, bekerja, dan tetap menghasilkan uang. Beberapa kali kemenparekraf mengadakan pameran, workshop, festival, dan pertemuan-pertemuan, yang entah bagaimana hanya bagaikan gelembung sabun yang hanya berbuih saat dikocok-kocok saja, kemudian saat diam, buih pun hilang, dan lenyap lagi. Apa yang salah ya?
Beberapa kali saya pun diundang dan diajak diskusi panjang lebar oleh Kemenparekraf. Bertemu dengan teman-teman di kementerian, para praktisi kreatif, akademisi, juga pemerhati dan penikmat dunia kreatif. Semua seolah sudah saling berjejaring dan memiliki semangat yang sama, akan tetapi tetap gagal menemukan TUJUAN asli dari misi ekonomi kreatif ini.
Saya jadi penasaran dan akhirnya mencoba membuka-buka “catatan” perjalanan ekonomi kreatif Inggris ini, yang kemudian saya berhasil menemukan titik di mana duduk awal masalahnya, yaitu.. ekonomi kreatif Indonesia lebih disibuki oleh orang-orang kreatifnya saja dan sangat minim sekali mengajak dan melibatkan orang-orang atau pakar di bidang yang sebetulnya lebih penting, yaitu bidang ekonomi.
Baca juga: Arfi’an Fuadi: Karena Pendidikan Formal Nggak Jamin Munculnya Kreativitas
Suatu hari, saya pernah ditawari untuk mendesain sebuah logo, logo perusahaan baju kelas rumahan (home industry). Orang itu tanya kepada saya, berapa harga mendesain sebuah logo? Saya yang sudah bekerja di bidang kreatif puluhan tahun, hingga saat itu masih kesulitan memberikan harga yang pas, wajar, dan valid untuk orang itu.
Kasih harga normal dia kaget, dikasih harga profesional apalagi, dikasih harga teman, dia bilang ada mahasiswa desain yang berani kasih harga lebih murah dari itu. Ujung-ujungnya saya bertanya balik kepada dia: berapa budget yang anda punya? Sebuah pertanyaan yang saya yakin sekali mayoritas pekerja kreatif di Indonesia pernah menanyakan pertanyaan yang sama.
Contoh cerita barusan adalah contoh masalah mendasar dari yang namanya EKONOMI kreatif, yaitu appraisal atau taksiran harga. Bagaimana kita bisa membangun sebuah struktur ekonomi tanpa ada struktur HARGA? Lalu dari mana harga bisa dibangun tanpa adanya kemampuan valuation atau memberikan taksiran nilai? Yang mana akhirnya semua harga yang terjadi di ekonomi bidang kreatif ini seolah-olah lahir hanya dari cocok-cocokkan, suka-suka dan suka sama suka saja. Kualitas SDM, kualitas material, jaminan kerja, jaminan karya, semua seolah tidak masuk dalam valuation tadi.
Jangan kaget jika anda tahu bahwa ada sebuah perusahaan besar yang meminta desainer grafisnya mencomot foto / image gratisan di Google untuk desain promonya? Jangan kaget juga jika ada pabrik mebel yang tidak punya desainer produk karena mereka merasa cukup menyewa tukang mebel yang paham menjiplak mebel buatan asing? Bagaimana kalau semua contoh barusan saya sebut sebagai “cara-cara kreatif” pekerja Indonesia? Apa yang lolos dari contoh tadi?
Baca juga: Amanda Ritsuri Menuangkan Kreativitas Pada Resin Elegan Massicot
YES.. Tidak adanya kesadaran akan “value“, baik dari klien, pekerja, dan pemerintah dalam bidang kerja kreatif tadi. Jika kasus barusan dilempar ke wacana ekonomi kreatif, maka akan ada pertimbangan dan hitung-hitungan panjang yang tidak hanya sekedar bicara desain bagus atau desain jelek.
Perusahaan yang membutuhkan jasa desain atau pekerja kreatif, tentu akan berpikir panjang jika mereka harus merekrut desainer yang suka menjiplak atau mencuri desain. Dengan kewajiban mereka harus menggaji para pekerja kreatif, maka sudah pasti perusahaan itu akan menuntut balik nilai keprofesionalan pegawainya, baik dari ide, gagasan, konsep, atau kualifikasi dan sertifikasi keprofesian si pegawainya. Yang mana ini akan berkaitan juga dengan lembaga keprofesian pekerja kreatif (baik itu desainer grafis, arsitek, musisi, penari, dst).
Begitu pula dengan si pekerja yang di-hire oleh perusahaan. Sudah pasti ia tidak akan mempertaruhkan karirnya dengan melakukan hal-hal konyol seperti mencuri ide atau menjiplak desain orang lain. Artinya semua ini rantai berkait, kepentingannya sama, kebutuhannya pun sama. Lalu siapa yang bisa melakukan pengawasan dan pengelolaan ini? Yup.. jelas pemerintah. Akan tetapi bagaimana mungkin pemerintah mampu memegang dan mengelola sistem dan struktur kerja barusan jika hanya diisi oleh orang-orang kreatifnya saja? Pincang bukan?
Pertanyaan penting yang harus menjadi landasan lembaga kreatif baru buatan tim Jokowi nanti adalah: Berapa persen kontribusi bidang usaha kreatif sejak sebelum dan sesudah didirikannya Kemenparekraf selama dua periode? Lalu berapa besar kontribusinya terhadap pemasukan ekonomi nasional dibandingkan dari sektor-sektor lain? Seberapa signifikan?
Suatu saat teman saya nyeletuk: tapi kan ekonomi kreatif ini baru, jadi harus melakukan semacam edukasi juga, baik kepada perusahaan, pekerja kreatif, maupun pemerintah sendiri. Makanya ada workshop, pelatihan, dan diskusi-diskusi.. itu bagaimana?
OK, akan tetapi sebaiknya ganti saja namanya, jangan EKONOMI KREATIF, melainkan EDUKASI KREATIF. Mengapa? ya karena dalam program ini tidak akan ada kewajiban untuk meningkatkan pemasukan ekonomi negara. Jangan-jangan lembaga ini malah akan berkaitan dengan Diknas? atau Dikti? Lalu apa KPI-nya? ya bisa jadi dengan meningkatnya lulusan dan pekerja kreatif di daerah-daerah?
Bisa-bisa saja, yang jelas bukan target peningkatan pendapatan ekonomi. Coba diingat, ekonomi kreatif itu harusnya bukan buang uang, melainkan memasukkan uang. Sementara edukasi kreatif itu jelas harus buang uang, jangan dituntut untuk memasukkan uang. Bagaimana dengan Kemenparekraf kemarin? Buang uang? atau memasukkan uang?
Baca juga: Menyambut Masa Depan Dengan Knowledge-Based Economy (1)
Sejauh ini, saya cuma membaca berita-berita yang berkaitan dengan upaya Jokowi membangun dewan atau lembaga ekonomi kreatif. Dari semua berita hampir jarang dan tidak pernah terlihat ada pakar ekonomi di sana. Padahal, masalah krusial dari industri dan ekonomi kreatif adalah meng-ekonomikan nilai-nilai kreativitas. Seperti yang sudah kita tahu semua bahwa jasa ide, gagasan, dan konsep kreatif ini adalah jasa intangible (tak berwujud) bukan?
Jasa usaha yang sulit sekali mendapatkan valuation business-nya sebelum memiliki karya atau produk kreatif (tangible). Jadi jangan kaget jika bank sulit sekali memberikan pinjaman kepada kita-kita yang punya konsep atau business planusaha kreatif. Lantas, apa kita harus demo dan menekan pemerintah agar bank mau melonggarkan kebijakan peminjaman modal bagi intangible business yang tidak ada valuation-nya?
Tahun 2015 ini adalah tahun dimulainya kesepakatan ekonomi bersama ASEAN yaitu Asean Economic Community. Sebuah kesepakatan pasar bebas dan usaha dari masyarakat ekonomi negara-negara ASEAN. Artinya persaingan usaha akan melebar di luar pasar dalam negeri saja. Pertanyaannya, bagaimana para pekerja kreatif Indonesia siap bersaing dengan pekerja kreatif negara tetangga jika kita belum mampu mem-valuasi kemampuan SDM kreatif dalam negeri?
Saran saya kepada Pak Jokowi, mulailah lebih banyak mengundang para ahli ekonomi, penaksir harga, selain juga para “tukang hitung” proyek kreatif seperti produser film, produser sinetron, kurator seni, festival project manager, dan sejenisnya. Mengapa? karena mereka-merekalah yang paling paham bagaimana mengkuantifikasikan nilai dan harga jasa pikiran, gagasan, dan konsep kreatif, termasuk pekerja-pekerja kreatifnya. Jika tidak? maka siap-siap saja lembaga baru ini nanti akan kembali menjadi lembaga kumpul-kumpul dan kongkow-kongkownya orang kreatif saja [:)]
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di halaman Personal Blog & Journal Anto Motulz.
Header image credit: holyoke.com