Tapi masalahnya, kadang kita suka salah kaprah. Maksain untuk viral, padahal sebenernya istilah “viral” ini nggak seharusnya muncul dari pihak kitanya sebagai kreator. Istilah ini mestinya lahir dari audiens sendiri. Merekalah yang mutusin mana yang mau mereka sebarin sampe kayak virus, mana yang dipaksa untuk disebar sama banyak banget buzzer tapi ngga cukup nendang untuk menjadi viral.
Tahun 2012 lalu, sempet heboh soal banyaknya brand berlomba-lomba bikin kampanye viral. Sayangnya, banyak dari mereka malah ngotot viral dengan cara yang salah. Eksekusi mereka malah jadi kampanye negatif yang bikin jelek nama mereka sendiri. Contohnya salah satu radio ternama di Ibukota, nyebarin video CCTV di akun socmed mereka yang nayangin kalau staf mereka kerampokan 25 juta. Begitu orang-orang pada heboh sampe lapor polisi, eh ternyata ini cuma bagian dari promosi dalam rangka ulang tahunnya yang ke-5. Please.
Latah, ada aja yang ngikutin jejak radio satu ini. Kali ini memanfaatkan aktivis stand up comedy terkenal yang punya banyak followers. Tiba-tiba dia nge-tweet serentet kayak lagi dalam situasi darurat emergency. Seakan-akan diculik, tapi terus ngupload foto krasak-krusuk, eh tapi lagi-lagi nongol tag yang nge-lead orang ke satu merek otomotif. Yang ada orang pada ilfil dan males banget, ujung-ujungnya bahkan si selebtwit ini ngapusin tweet-tweet dia entah nyesel atau gimana. Agensi dan brand yang bikin? Kena caci maki pengguna twitter yang super duper nyinyir itu.
Lalu gimana bikin viral yang bener?
Kalau menurut Dennis Adishwara, CEO Layaria, video yang sukses viral itu sesungguhnya ada campur tangan dan kuasa Tuhan. Ya gimana enggak, setiap menit ada 100 jam durasi video yang terunggah di YouTube! Gimana caranya bisa saingan sama video yang bejibun itu? Jangan salah, biarpun begitu tetep ada caranya untuk mengkondisikan sebuah video biar viral.
Kata Dennis, ada tiga faktor yang cukup menentukan.
Tastemakers
Peran influencer yang menggerakkan penyebaran video di social media itu emang penting sih. Contohnya ada sebuah video tentang double rainbow di sebuah pegunungan di luar negeri. Udah sebulan di-upload ke YouTube, tapi bahkan temen dan sodara si empunya video nggak ada yang tertarik nge-view, zero views aja gitu. Sampai suatu hari penyiar talkshow di sebuah stasiun TV nge-tweet tentang video ini. Hasilnya? Nembus lebih dari 39 juta views per hari ini. Nyem!
Audience Participation
Partisipasi penonton juga krusial. Misalnya dengan mendorong mereka membuat versi cover dari video kita. Semakin banyak versi cover, makin heboh dan seru. Katanya sih, ini juga resep yang bikin the legendary Gangnam Style resmi ditonton sampe hampir dua miliar view hingga sekarang. Contoh lainnya adalah karakter Nyan Cat, video kartun kucing terbang yang gambarnya burem-burem ala 8-bit macem Mario dan Flappy Bird, plus diiringi musik yang annoying dan kalo semakin lama didengerin bikin makin pusing. Yang lebih bikin pusing, durasi videonya sampe 10 jam! Joke-nya sih, kalo video ini dikasih unjuk ke tersangka yang lagi diinterogasi CIA, bisa bikin mereka ngaku gara-gara ga tahan sama suara annoying-nya si Nyan Cat. Video yang sampai sekarang sudah diview lebih dari 30 juta ini dibuat bermacam-macam versi oleh berbagai orang. Mulai dari Nyan Cat versi jazz, metal, sampe techno.
Unexpectedness
Sama aja sih kayak film. Kebanyakan orang suka ending yang nggak disangka-sangka. Kalau nggak ada value satu ini, gimana caranya bikin orang promosiin video lo ke lingkaran yang lebih besar. Elemen ini juga yang jadi ngebedain antara video viral sama video yang berkarat tenggelam di antara 100 jam video tiap menitnya.
Konsep “coming out of nowhere” di video dengan twisted ending ini bisa dalam berbagai bentuk. Nggak harus bikin sesuatu yang baru karena seperti kata pepatah, nothing new under the sun. Yang harus dilakuin adalah bikin hal sederhana yang sebenernya bukan barang baru, tapi di-twist jadi sesuatu yang fresh dan nggak terduga.
Contoh ekstremnya, coba tonton video semi-gory 18+ ini.
Sekalipun sudah memasukkan unsur dan faktor-faktor di atas, viral ngga bisa asal jadi. Konten juga tetep harus dipikirin dengan mateng. Ngga yang terus bikin asal-asalan atau melanggar norma dan etika kayak kasus sok penculikan atau perampokan seperti yang diceritain di awal.
Jangan juga sampe berlebihan dalam manfaatin tastemakers. Buzzer perlu, tapi jangan sampe kerasa fake dan malesin sampe orang ngga pengen ngecek konten kita.
Karena kayak apa kata Dennis, pada akhirnya viral enggaknya video kita ya bakal balik lagi ke tangan Tuhan. Kita cuma bisa mengkondisikan dengan sebaik-baiknya biar bisa viral dan meledak.
Header image credit: gratisography
Comments 1