Pergeseran Tren Naik Gunung: Dari Aktivitas Ekstrim, Jadi Kegiatan Healing – Beberapa tahun terakhir, tren naik gunung semakin populer terutama di kalangan anak muda. Niat dan tujuannya pun berbeda-beda, ada yang sekedar mau refreshing, ada yang memang mau fokus sama pengembangan fisik, atau ada juga yang mau sekedar cari pengalaman. Dari semua alasan, gak ada alasan yang salah.
Tapi memang, tren naik gunung udah mulai bergeser dari tujuan semula. Kalo kita tarik sejarahnya, kegiatan naik gunung pertama kali dilakuin pada abad ke-19 pas Antoine de Ville dapet perintah dari King Charles VII buat ngukur skala gunung yang belum terjamah manusia pada saat itu.
Setelah itu, aktivitas naik gunung mulai jadi kegiatan akademik, di mana para ahli mulai berlomba buat mengukur gunung-gunung tertinggi di dunia buat penelitian. Di Indonesia sendiri, pendakian gunung udah dilakuin sejak ,tahun 1700an, saat itu masyarakat udah terbiasa nyusurin hutan dan tebing buat nyari sarang burung walet karena memiliki nilai jual yang tinggi.
Sampe pada zaman modern, mulai terbentuklah banyak komunitas pecinta alam. Komunitas ini menjadikan kegiatan naik gunung untuk berbagai tujuan; misalnya melakukan pendidikan serta pelatihan buat anggotanya, dan juga buat kegiatan penelitian.
Tentu, para pecinta alam ini datang ke gunung dengan persiapan teori dan teknis yang matang. Mereka sadar kalo gunung itu bukan sembarang tempat, jadi mereka harus berusaha sebisa mungkin buat merawat dan memelihara alam yang ada di sana.
Tapi eh tapi… Kok sekarang trennya bergeser ya?
Kegiatan naik gunung ini nampaknya makin populer dari tahun ke tahun.
Terlebih ada film 5cm yang nyeritain perjuangan 5 sekawan buat naklukin gunung tertinggi di pulau Jawa– Semeru. Gak bisa dimungkiri kalo film ini jadi salah satu alasan meningkatnya tren pendakian gunung. Sayangnya tingkat kepopuleran naik gunung ini juga disertai dengan pergeseran nilai serta budaya pendakian.
Sebelumnya kita tahu kalo naik gunung merupakan hal yang “sakral”. Gak sembarang orang bisa naik gunung, mereka harus nyiapin banyak hal, mulai dari teori, teknis, dan pengetahuan umum seputar gunung dan alam. Buat sebagian orang, naik gunung merupakan bentuk kecintaan pada alam, contoh nyatanya adalah merawat dan memelihara ekosistem gunung dengan cara (yang paling minimal) gak buang sampah sembarang.
Tapi eh tapi, sekarang ini tren naik gunung udah bukan soal peduli terhadap lingkungan lagi. Banyak orang hari ini naik gunung tanpa ada persiapan yang matang dan tanpa bekal yang cukup. Tentu, mereka ngejadiin kegiatan naik gunung ini sekadar healing atau seru-seruan aja tanpa mikirin hal lainnya.
Emangnya kenapa sih kalo naik gunung buat seru-seruan aja?
Again, naik gunung itu bukan hal yang sepele. Banyak banget hal yang perlu dipersiapin buat menghadapi alam liar yang belum pernah kita kunjungi. Kalo tren naik gunung buat seru-seruan tanpa adanya edukasi yang “mapan”, tentu banyak dampak negatif yang bakal alam rasain.
Salah satunya adalah ekosistem gunung yang bakalan rusak karena tercemar sampah yang ditinggali sama pendaki. Contohnya gak usah jauh-jauh, di Indonesia sendiri, Trashbag Community pernah ngelakuin pembersihan di 15 gunung di Indonesia pas 2015. Gak tanggung-tanggung, mereka bawa turun total 2,4 ton sampah! Kebayang kan gimana kotornya gunung kita?
Selain itu, para pendaki yang gak punya bekal edukasi ini berisiko cedera di gunung. Seperti yang udah kita tahu, gunung merupakan alam liar yang gak bisa kita prediksi. Kalo kayak gini, korban kecelakaan akibat kegiatan naik gunung bisa terus meningkat. Contohnya pas ada 3 pendaki yang meninggal di Gunung Tampomas pas 2019.
Usut punya usut, ketiganya merupakan anak di bawah umur dan gak punya perlengkapan yang proper. Mereka gak bawa jaket, baju ganti, dan juga sleeping bag. Alhasil mereka meninggal karena hipotermia akibat suhu di gunung yang dingin karena hujan.
Untuk menemukan konten menarik lainnya seputar isu anak muda, yuk kunjungi profil Instagram Ziliun! dan jangan lupa di-follow juga!