Buat sebagian orang, pakai brand lokal itu gak kece dan gak gaul. Banyak orang masih merasa, kalau mau keren, ya harus pakai merek dari luar negeri. Betapapun fungsi dan kualitasnya sama atau ngga jauh beda pun, karena gengsi harus pakai merek luar. Sangat sedikit orang yang mau mendukung brand lokal. Biasanya baru mulai didukung setelah orang atau brand tersebut mendapatkan pengakuan dari luar, semisal menang award, atau diliput media internasional. Indikator paling gampang, bisa cek di media sosial seperti Instagram. Kebanyakan orang akan lebih memilih beli barang KW alias palsu daripada beli barang merek lokal.
Problem inilah yang kemudian di-tackle oleh beberapa brand lokal yang mau mendobrak stereotipe bahwa barang lokal sama dengan murahan. Beberapa di antaranya berbagi cerita dengan Ziliun.com di The Backstage Vol. 12: Lessons from Thriving Local Brands.
Baca juga: The Backstage: The Power of Dreams
Woodka, sebuah brand jam tangan asal Bandung yang terbuat dari kayu; Copa de Flores, sebuah fashion line yang mengangkat kain tenun asal Sumba, Flores; serta Kayuh, sebuah brand sepeda dari kayu daur ulang, adalah beberapa dari sedikit mereka yang berhasil memanfaatkan sumber daya lokal untuk dikembangkan dan ditingkatkan daya jualnya.
Mereka berbagi kisah mengenai bagaimana mereka memulai bisnis dengan mengolah kekayaan lokal Indonesia di The Backstage. Didi Diarsa Adiana, founder dari Kayuh, bercerita bahwa sepeda kayu buatannya justru lebih dihargai di pasar luar negeri karena memanfaatkan bahan-bahan daur ulang. Aditya Budidharma dan Muhammad Ghifari, co-founder Woodka, bercerita sulitnya memulai bisnis sambil kuliah.
“Bikin bisnis pas kuliah susahnya bukan main, tapi bukannya gak mungkin,” kata Adit di panggung The Backstage. “Waktu awal kami memulai Woodka, kami punya 13 vendor yang berbeda untuk memproduksi satu buah jam tangan, mulai dari pembuatan spare part hingga perakitan, karena tidak ada vendor yang mau mengerjakan produk tersebut dari awal sampai akhir.”
Tapi setelah berjalan 4 tahun, Woodka kini sudah memproduksi lebih dari 5.000 buah jam tangan. Menurut Adit dan Ogif, bahkan sampai sekarang mereka masih merasa bangga dan takjub ketika bertemu orang yang tidak mereka kenal memakai produk mereka.
Baca juga: Yukka Dan Putera: Bangun Fashion Brand Dengan Manfaatkan Engineering Design
Sementara itu, Maria Isabella dan Gregoria Frederika, co-founder Copa de Flores, punya mimpi ingin mempromosikan kain tenun ikat asal Flores, ke seluruh dunia. “Di Flores, perempuan-perempuan di sana diwajibkan untuk bisa menenun, karena merupakan simbol kasih sayang dari seorang ibu untuk menyediakan sandang bagi keluarganya,” kata Bella.
Menurut Bella, setiap tenunan memiliki cerita. Kekuatan itulah yang kemudian dijahit menjadi sebuah fashion line yang menggabungkan kekayaan budaya Flores dengan gaya anak muda masa kini. Salah satu tantangan yang mereka hadapi adalah, setiap helai kain yang ditenun tangan tersebut dibuat dalam kurun waktu hingga 6 bulan lamanya. Oleh karena itu, setiap model yang mereka hasilkan sangat terbatas jumlahnya.
Meskipun dengan berbagai tantangan dan hambatan yang mereka hadapi sejak dari awal memulai bisnis hingga sekarang, mereka punya mimpi yang luar biasa besar untuk mengangkat nama Indonesia ke tingkat dunia, karena mereka yakin akan potensinya yang besar.
Tips jitu dari mereka untuk memulai, seperti yang disampaikan oleh Adit dari Woodka, “Jangan kebanyakan mikir kalo punya ide. Langsung lakukan aja. Paksa diri kita untuk memulai.”