Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa — rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda- Soe Hok Gie
Mengapa kita harus dilahirkan? Harus menanggung beban hidup, belajar berjalan, sekolah, kuliah, bekerja, dan akhirnya mati dalam kesakitan. Lagipula, kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan?
Pertanyaan itu pernah saya lontarkan kepada sahabat diskusi saya waktu di sekolah menengah. Ketika banyak pertanyaan tentang hidup mulai membuncah seiring tekanan hidup yang menyertai bertambahnya usia seseorang.
Tentu tekanan hidup anak sekolah menengah yang hidup cukup tidaklah seberapa. Namun, pada masa sekolah tentu kita tahu tekanan terbesar siswa adalah ujian akhir nasional. Saya masih ingat beberapa teman saya menangis setelah ujian fisika dan matematika, hanya bisa pasrah apakah bisa lulus atau tidak.
Pada masa itu, bayangan-bayangan tentang masa depan mulai muncul. Mau kuliah atau kerja, kuliah jurusan apa, dimana universitasnya, bagaimana biaya dan lain sebagainya. Pikiran sibuk dengan masalah-masalah itu tadi, ketakutan demi ketakutan tentang masa depan berkelebat dan akhirnya terbersit pertanyaan, untuk apakah kita hidup?
Baca juga: Panti Asuhan, Warteg, dan Tukang Ojek
Tentang Tujuan Hidup
Kita bisa saja berfilosofi tentang tujuan hidup, namun pada kenyataannya, realitas memaksa kita mengikuti makna hidup sesuai dengan tafsir kebanyakan orang. Hidup di jaman sekarang, hampir semua berkaitan dengan materi. Semua diukur dari seberapa banyak harta anda, berapa jumlah properti, merk mobil, atau di cluster apa kamu tinggal.
Kalau kamu tanyakan kepada orang kebanyakan kenapa harus sekolah, mereka akan menjawab klise, untuk menuntut ilmu katanya. Agar pandai dan berwawasan luas. Namun jika ditanya lebih dalam lagi, kenapa memilih jurusan-jurusan favorit saat kuliah, jawaban yang akan muncul adalah jurusan ini gampang dapat kerja dan prospek gajinya tinggi. Uang yang akhirnya bicara. Pendidikan hanya dianggap sebagai investasi untuk mendapatkan revenue yang lebih besar. Semua adalah karena uang.
Apakah hanya itu yang kita cari? Seakan tujuan hidup kita, mulai dari bangun pagi sampai tidur kembali adalah demi uang. Kalau memang hanya tentang uang, rasanya hidup adalah sesuatu yang sangat sangat sangat dangkal.
Baca juga: Jangan Hidup Untuk Membahagiakan Orangtua
Tentang Keluarga
Pernah terpikirkan, hidup adalah sesuatu yang absurd. Bahkan di waktu itu pernah terpikirkan apa motif para orang tua punya anak?
Jawaban-jawaban seperti, “anak itu akan jadi kebanggaan orang tua”, atau , “anak itu akan jadi penerus trah”. “banyak anak banyak rezeki”, tidak menjawab semuanya. Alasan-alasan itu justru seperti menegaskan keegoisan orang tua, dimana anak adalah salah satu “alat” agar mereka bangga, atau lebih parah lagi. Menjadi gantungan hidup karena dianggap sumber rezeki.
“Apakah anak yang dilahirkan didasari oleh motif dan alasan yang kuat, ataukah mereka hanya efek samping dari nafsu yang tersalurkan?”
Dunia sudah penuh sesak, penuh polusi dan sumberdaya-nya semakin berkurang. Bumi dipenuhi 6 miliar lebih manusia yang saling berebut untuk hidup. Betapa kejamnya melahirkan anak ke dunia yang semakin rusak ini.
Betapa kejamnya, anak yang katanya dicintai harus menanggung beban hidup beruluh tahun lamanya, bertanggung jawab terhadap hidupnya dan suatu saat diadili atas semua perbuatannya di dunia.
Pernahkah terpikirkan, apa motif kita berhubungan seks? Hanya pelampiasan hasrat, atau dengan kesadaran penuh tentang kelahiran seorang bayi? Berapa banyak dari kita yang berpikir:
“Bumi memang semakin rusak, dan saya ingin punya anak agar ia kelak menjadi orang yang membawa kemaslahatan bagi dunia, membawa manfaat bagi masyarakat”
Berapa banyak dari kita yang berpikir, berkeluarga bukan karena tekanan sosial dari sekitar, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa keluarga ini akan menjadi keluarga pejuang, tim kecil yang membawa perbaikan bagi dunia.
Baca juga: “Naik Kelas” di Kehidupan Nyata
Pilihan
Di PintuMu Aku Mengetuk Aku tidak Bisa Berpaling “ Doa, Chairil Anwar.
Ketika pertanyaan dan gugatan itu saya sampaikan, seorang teman diskusi mengatakan sesuatu hal yang saya ingat sampai sekarang.
“Kalau kamu tidak pernah mau dilahirkan, lalu kenapa dulu kamu tidak menolak ketika dilahirkan?”
Jawaban itu seketika membuat semuanya terang benderang. Tidak ada pilihan. Iya, menjadi dilahirkan ataupun tidak dilahirkan bukanlah pilihan kita. Kita tidak bisa mengubah itu, dan pada kenyataannya, tidak punya kuasa sedikitpun untuk mengubah itu.
Dengan kita tidak menggugat sedikitpun ketika dilahirkan, hampir bisa dikatakan bahwa kita tidak menolak dan setuju untuk dilahirkan. Walaupun sekarang kita menggugat dengan sekuat tenaga
Maka, segala gugatan itu menjadi tidak ada artinya. Saya merasa seperti orang bodoh yang berada di dalam gua, mengutuk dan menyumpah serapahi kegelapan, namun tidak pernah berusaha keluar.
Ya, tidak ada pilihan lain, selain menjalani hidup ini sebaik-baiknya, memberikan makna, dan kontribusi sebesar-besarnya untuk dunia yang lebih baik.
Dengan menyalahkan kelahiran kita, tidak akan membuat hidup kita menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalani ini semua. Namun, kita masih diberi pilihan, menjalani hidup dengan berbuat kerusakan, atau berbuat kebaikan untuk mengubah dunia di setiap hari yang terlewati.
Baca juga: Hidup Lo Baru Bermakna Kalau Lo Ngelakuin Ini
Penulis adalah CEO Jejakku, sebuah marketplace trip organizer dengan challenge social contribution dan reward bagi traveler