“My family never understood. It was confusing for them. A lot of my friends were excited, but I had others who were like, ‘Have you really thought through this? What if it doesn’t work?’ I realized that their mentality and attitude about risk was so different from mine. I just don’t see the world that way. I saw it as fun, exciting, a challenge! I never saw any downside — it was all opportunity. If it didn’t work, I’d figure something else out.” – Erin Glenn
Kemarin ada satu artikel menarik di LinkedIn, tentang bagaimana alibi seorang pekerja startup yang digunakan untuk menjelaskan tentang pekerjaan mereka kepada orang-orang di sekitarnya, yang mana sebagian besar pemahamannya masih familiar dengan pekerjaan di korporasi.
Bagian ini memang hal menarik tersendiri. Saya sebagai salah satu penggiat startup juga merasakan hal yang sama, bagaimana secara mudah agar bisa menjelaskan tentang pekerjaan kita kepada orang-orang di sekitar kita, terutama keluarga. Apalagi di Indonesia. Dulu pas lulus kuliah langsung ditanyain mau daftar PNS atau BUMN mana? *lalu hening*
Tapi dari artikel itu saya juga jadi tau bahwa fenomena ini ga cuma dirasakan di Indonesia saja, negara-negara lain juga demikian ternyata.
Baca juga: Perusahaan Multinasional: Curi Ilmunya, Bukan Namanya
Saya akui memang masih susah sekarang ini untuk mewajarkan cara bekerja yang sedikit berbeda dari sebagian besar orang. Kerja hanya bermodalkan internet, tanpa busana yang “rapi”, tanpa jam kerja yang ketat, atau terlihat berangkat ngantor.
Tapi satu yang pasti teman, hal-hal tadi bakal sangat mudah jika kalian membahasnya bersama para pekerja startup juga, haha. Yaiyalah.
Kerja di startup (sepertinya) memang harus butuh mental survival yang lumayan, orang-orang yang mau take risk, dan harus selalu kreatif produktif. Karena selalu dekat dengan ketidakpastian. Ndak seperti teman-teman yang hidupnya sudah ditanggung oleh korporasi, atau negara.
Baca juga: Membangun Startup: Sakitnya Tuh di Sini!
Kalau kata orang Jawa mah, ora mung njagake wong liyane.
Tapi njagake investor, hahahaha.
Tapi iya lho, kalau sekarang ini menurut saya (mungkin) terutama di Indonesia, kalau mau bikin startup tanpa investor emang bakal berdarah-darah. Kecuali punya backup keluarga yang sudah sangat-sangat berkecukupan.
Dan entah kenapa saya masih bisa bertahan dan menikmati hal itu sampai sekarang. Walaupun startup tempat saya bekerja belum bisa dikatakan “sukses”. Sederhananya si masih banyak hal-hal yang membuat penasaran dan banyak banget hal-hal baru yang bisa dipelajari.
Jangan sampai menyesal di kemudian hari hanya karena tidak pernah mencoba, ya kan?
Baca juga: Working at Startup: Are You In for the Money or for the Values?
Tulisan ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Arif Setiawan dengan judul “Penjelasan Kerja di Startup”.
Header image credit: huffingtonpost.com
Comments 2