Stigma Kesehatan Mental di Indonesia. Mau Sampai Kapan? — Pada tahun 2016, Sistem Registrasi Sampel KEMENKES RI memperoleh data bahwa di Indonesia telah terjadi sekitar 1.800 kematian akibat bunuh diri.
Masih dari institusi yang sama, Riset Kesehatan Dasar (2018) mencatat bahwa terdapat 2 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang mengalami depresi dan 19 juta penduduk di atas 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional.
Fakta mencengangkan lainnya: Indonesia merupakan negara dengan pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara (Info DATIN KEMENKES RI, 2019).
Percayalah, jiwa dan mental adalah sesuatu yang penting dan esensial, sama seperti fisik kita
World Health Organization menyatakan bahwa mental health merupakan kondisi individu yang mampu mengelola stres dengan baik dan produktif.
Apabila mental health dalam kondisi kurang optimal, maka dapat mengubah cara seseorang menangani stress, interaksi sosial, hingga risiko mengalami gangguan mental. Apa aja contohnya? Depresi, skizofrenia, gangguan bipolar, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), dlsb.
Penyebab umumnya bisa karena faktor biologis (genetik, syaraf otak, zat kimia, dlsb), faktor traumatis (pelecehan, kekerasan, diskriminasi), dan faktor keluarga.
Baca juga di sini: Merawat Kesehatan Fisik dan Mental Selama Pandemi
Isu mental health merupakan sesuatu yang kompleks, tapi sudah diakui secara medis. Serta memiliki cara pengobatan secara medis pula. Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang memiliki stigma. Misalnya: kesehatan mental yang dikaitkan dengan iman dan kepercayaan seseorang, orang memiliki anggapan bahwa survivor-nya yang kurang bersyukur, gangguan kesehatan mental selalu berkaitan sama Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dll.
Stigma kesehatan mental ini yang menjadi masalah baru
Kalo stigma negatif terus-terusan muncul, dampaknya sangat buruk bagi mereka yang lagi berjuang menghadapi gangguan mental. Bukan gak mungkin bisa menimbulkan depresi berat hingga bunuh diri. Siapa pun memiliki risiko untuk memiliki gangguan mental. Gak peduli mau muda, remaja, hingga lansia.
Jangan ragu untuk memeriksakan diri ke profesional—psikolog atau psikiater. Konsultasi ke psikolog apabila kita merasa cemas, depresi, dan emosi tidak stabil. Bagaimana dengan psikiater? Kalo keadaan kita udah cukup parah dan merasakan gejala berat, misalnya: halusinasi hingga tindakan melukai diri sendiri.
“There is no health without mental health”—WHO
(Gak ada yang namanya “sehat” tanpa kesehatan mental)
Apa yang bisa kita lakukan untuk memiliki mental health yang stabil?
Pertama, menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa memberikan trigger, misalnya: konten media sosial tertentu. Kedua, memiliki seseorang yang terpercaya untuk berbagi cerita. Kemudian, alih-alih melakukan diagnosa sendiri, lebih baik langsung berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater
Lalu yang bisa kita lakukan untuk menjadi support system yang baik?
Belajar mendengarkan cerita orang lain dengan baik dan fokus. Gak menghakimi atau memberikan prasangka negatif, atau belum juga masuk ke inti cerita udah dicecer pertanyaan bertubi-tubi, dan berikan bantuan atau pertolongan atas persetujuan yang bersangkutan.
Stigma kesehatan mental menjadi salah satu faktor awareness terhadap kesehatan mental kian memburuk, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, mulai dari diri kita untuk berhenti memberikan stigma negatif terhadap isu ini.