“There are lies, damned lies and statistics.” ~ Mark Twain
Yang udah lulus kuliah atau lagi mengusahakan lulus pasti punya hubungan erat sama yang namanya “skripsi”.
Tanpa bermaksud mengingatkan para mahasiswa yang skripsinya gak beres-beres, gue ingin mengajak lo berpikir sejenak tentang esensi dari sebuah skripsi atau penelitian.
Umumnya, dalam mengerjakan skripsi, kita punya suatu definisi masalah yang kemudian kita kemas dalam suatu studi kasus dengan rumusan masalah. Rumusan masalah ini kemudian kita kembangkan menjadi beberapa pertanyaan kuesioner yang kita bagikan ke, say, 200 orang.
Hasilnya? Sebuah data berupa angka yang kemudian menjadi basis kita menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi.
Ada yang aneh dengan proses di atas?
Baca juga: #ziliun17: Akun Twitter Indonesia dengan Follower Terbanyak
Coba gue kasih petunjuk.
Sebuah data berupa angka menjadi basis kita menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi.
Pemikiran kita akan suatu fenomena hanya didasarkan pada suatu angka…
…yang kita dapat hanya dari jawaban para responden yang mungkin asal menjawab…
…yang kita kelola menggunakan software alias mesin…
dan kita percaya angka itu bisa menjelaskan suatu fenomena.
Baca juga: Kenapa Berburuk Sangka Pada Teknologi?
Kebiasaan Buruk Mereduksi Fenomena
Biarkanlah sistem skripsi di dunia perkuliahan tetap seperti itu, gue ga bermaksud mengkritik sistem.
Tapi jangan sampai kebiasaan kita “mereduksi” angka menjadi suatu kesimpulan, dibawa-bawa sampai ke dunia “nyata” setelah lulus kuliah.
Seperti yang judul artikel ini nyatakan, statistik bukan harga mati. Statistik hanyalah data yang mendukung penarikan kesimpulan dan pengambilan kesimpulan. Instrumen utamanya, ya seharusnya pikiran kita sendiri: otak manusia yang memang dianugerahin sama akal.
Fenomena sosial, interaksi antar manusia, dan apapun yang menjadi objek penelitian sosial ga pernah sesederhana itu. Banyak hal-hal kompleks dan tersembunyi di baliknya. Misal, bukan berarti kalau 90% orang setuju bahwa membuang sampah sembarangan itu buruk, terus mereka bakal ga buang sampah sembarangan. Bukan berarti kalau sepanjang tahun, angka kecelakaan di jalan menurun, lalu pemerintah telah berhasil membuat jalanan lebih aman.
Humans are not numbers. Banyak pihak yang memperlakukan statistik sebagai harga mati–mungkin terbiasa mereduksi sesuatu hanya menjadi angka–menganggap bahwa perbaikan dalam statistik adalah suatu prestasi. Padahal, ada masalah-masalah yang sifatnya kualitatif dan ga bisa diinterpretasikan hanya dari angka.
Baca juga: Merayakan Kemiskinan
Kalau dalam satu tahun hanya ada lima orang yang bunuh diri di suatu kota, turun drastis misalnya dari statistik tahun lalu, bukan berarti lima orang bunuh diri itu suatu prestasi, kan?
Pendapatan per kapita kita katanya setelah pemerintahan SBY naik jadi sekitar 4000 dolar Amerika. Tapi, masih banyak penduduk miskin dimana-mana, kemampuan ekonomi gak merata. Apa dengan angka ini, pantas berbangga lama-lama?
Sekali lagi, statistik bukan harga mati. Statistik hanyalah data yang mendukung penarikan kesimpulan dan pengambilan kesimpulan. Instrumen utamanya, ya seharusnya pikiran kita sendiri: otak manusia yang memang dianugerahin sama akal.
Please, coba eksplor dan always look beyond the numbers. Jangan bawa-bawa kebiasaan “mereduksi” di zaman skripsi ke dunia nyata nanti.
Header image credit: sitebuilderreport.com