Dunia startup memang saat ini sedang menjadi primadona. Dimana-mana orang membicarakannya, banyak orang terutama anak muda dengan penuh semangat ingin berpartisipasi dan membangun karir di dalamnya. Terlihat dari luar dunia ini bergelimpahan dengan beragam term idealis keren seperti disruption, tranformation, atau term lainnya yang digunakan untuk mendefenisikan bahwa kita sedang dalam perjalanan mengubah dunia menjadi lebih baik dengan startup kita.
Namun ternyata tidak semua dapat polos begitu saja kita bayangkan dengan indah, ada sebagian sisi lain dunia startup yang tanpa disadari menjadi bagian tak terlepaskan dalam kehidupan para founders, venture capitalist, hingga semua stakeholder sebuah startup.
Baru-baru ini saya membaca buku anyar berjudul Disrupted karya Dan Lyons. Buku ini menceritakan pengalaman penulis yang merupakan mantan jurnalis, bergabung dengan salah satu startup berlabel unicorn di Boston, Amerika Serikat, lalu mengamati dan merasakan sendiri dari dalam bagaimana startup tempat bergabungnya bukanlah sebuah perusahaan yang sungguh-sungguh ingin memperbaiki dunia, tapi merupakan instrumen finansial yang harus segera melambungkan valuasi untuk keuntungan para shareholdernya.
Baca juga: Andreas Senjaya: Bermanfaat Melalui Teknologi
Maksud terminologi instrumen finansial adalah sarana yang digunakan oleh investor, founders, atau semua shareholders di dalamnya untuk terus menumbuhkan valuasinya yang bisa dipanen di kemudian hari. Startupnya, tidak perlu punya cash flow positif atau profit. Selama revenue, customer, dan size perusahaan terus bertumbuh dari waktu ke waktu, hal itu sudah menjadi modal yang cukup untuk membuat valuasi perusahaan terus bertumbuh, dinvestasi dari satu investor ke investor berikutnya hingga bisa exit dengan IPO/go public atau diakusisi oleh perusahaan besar.
Formula yang dipakai adalah bertumbuh cepat, mengeluarkan uang untuk membiayai pertumbuhan itu, dan go public (grow fast – losing money – go public). Banyak uang digunakan untuk mengakusisi customer, merekrut PR, marketer, sales, referal marketing yang menyebabkan pengeluaran terus bertambah, tapi tidak masalah karena revenue juga bertambah signifikan. Kita terus mengira bahwa perusahaan akan terus bertumbuh cepat dan besar, hingga profit akan datang di kemudian hari.
Yang perlu diperhatikan juga, di tengah kinerja keuangan perusahaan yang masih negatif, banyak tech company yang sudah menawarkan fasilitas wah untuk kantor dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Size perusahaan bertumbuh sangat cepat, kantor dirubah menjadi sangat mewah dengan fasilitas lengkap tuk memanjakan pekerjanya. Hal itu tentunya bukan merupakan hal buruk, sangat bagus malahan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang bekerja di startup kita. Tapi akan lebih proporsional jika hal tersebut dilakukan ketika keuangan perusahaan kita sudah pas untuk melakukannya.
Google seringkali menjadi benckmark bagi para startup untuk mempermak kantornya. Google dengan kantor ukuran super besar, fasilitas super lengkap, dan makanan gratis dimana-mana tentunya sudah sangat wajar untuk melakukannya, mereka sudah punya profit lebih dari US$ 1 milyar setahunnya. Itu bukan revenue ya, tapi profit. Tapi jika kita sendiri masih belum bisa menjamin apakah startup kita bisa terus sustain dengan kinerja keuangan saat ini, tapi sudah membeli beragam fasilitas wah tentu saja rasanya agak kurang pas.
Baca juga: Apa Unfair Advantage Startup Kita?
Kalau mau kita refleksikan sejenak, walau tidak semua, tapi ada perbedaan di dunia tech company sebelum dan sesudah era internet (tahun 90-an), yang satu berorientasi menghasilkan keuntungan sejak pertama berdiri, yang satu lagi tidak masalah mengeluarkan tak terhitung uang untuk growth dan tidak menghasilkan profit, bahkan ketika sudah IPO sekalipun, yang penting revenue perusahaan terus bertumbuh signifikan.Padahal, seperti kita ketahui bahwa salah satu objektif dari mendirikan sebuah perusahaan adalah menghasilkan keuntungan, yang dengan keuntungan itu kita bisa membuat perusahaan bertahan, konsiten berkembang yang akhirnya bisa merealisasikan visi perusahaan. Bukan sekedar membuat perusahaan yang bertahan 5-10 tahun dengan uang investor hingga perusahaan tersebut IPO, para shareholder telah memperoleh return sangat besar dari sana, tapi akhir tutup karena tidak mampu lagi menutupi laporan merah keuangannya dari waktu ke waktu.
Indikasi semakin rentannya daya tahan sebuah perusahaan sebenarnya dapat kita lihat dari penurunan signifikan rata-rata umur perusahaan. Menurut Innosight, dulu tahun 1960 rata-rata umur perusahaan sekitar 60 tahun, saat ini rata-rata umur perusahaan tidak lebih dari 20 tahun. Banyak perusahaan lahir, dapat investasi, bertumbuh dengan sangat cepat, tapi juga mati dengan lebih cepat.
Baca juga: Belajar Membesarkan Bisnis dari Mendaki Gunung Everest
Bagi saya pribadi, perusahaan harus bisa memberi manfaat terus menerus bahkan hingga berdekade-dekade yang juga berarti dapat memberikan kepastian kerja (job security) untuk para stakeholder di dalamnya, dan hal ini yang banyak tidak menjadi salah satu objective utama tech company yang terus memiliki neraca negatif.
Salah satu yang paling berkorban dengan menjadikan sebuah startup sebagai instrumen finansial tentunya bukan founder atau investor, tapi mereka yang bekerja di dalamnya. Selama perusahaan tersebut masih terus membakar uang, job security dari orang-orang yang bekerja di dalamnya masih belum aman. Apakah mereka mampu menjamin bahwa mereka tetap dapat bekerja di sana hingga 20-30 tahun mendatang, apakah perusahaan tempat mereka bekerja masih bisa survive tanpa kehabisan nafas sepanjang perjalanan? sementara umur mereka terus bertambah, berkeluarga, bertambah kebutuhan seiring dengan berjalannya waktu.
Yang saya takutkan ketika perusahaan tempat mereka bekerja sudah kehabisan nafas, di situ juga saat para pekerjanya sudah berumur lebih dari 40, sudah berkeluarga, dengan banyak tuntutan, dan sangat sulit untuk mendapat pekerjaan baru serta berkompetisi dengan para fresh graduate. Ada saja mungkin yang tetap bisa punya pilihan banyak untuk karirnya, tapi sebagian besar akan berada pada kondisi minim pilihan ditengah tuntutan yang sudah menggunung.
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam tentang Venture Capital
Tentunya semua situasi di atas tidak sepenuhnya mutlak terjadi atau dilakukan oleh para pelaku startup saat ini. Tujuan tulisan inipun bukan untuk menghakimi kita yang masih terjebak dalam lingkaran model grow fast-losing money-go public tersebut, tapi untuk membuka mata kita sehingga senantiasa bisa menjaga perusahaan yang kita sedang besarkan agar tidak hanya menjadi instrumen finansial tanpa hati, tapi memperhatikan sustainabilitas jangka panjang perusahaan ke depannya. Ada nasib banyak orang berada di perusahaan kita.
Saya pun mungkin belum tentu telah berada pada level mampu melakukan hal tersebut sepenuhnya jika harus mengelola startup yang senantiasa dikejar tuntutan punya growth tinggi walau mengorbankan laporan merah di keuangan kita untuk menggenjot valuasi untuk kepentingan shareholder perusahaan. Tapi kalau kita sudah bisa rendah hati dan objektif untuk membuka diri ada yang salah dengan model seperti itu, setidaknya kita bisa meminimalisir kecenderungan dampak negatif yang bisa ditimbulkan tersebut dengan lebih memperhatikan pada matriks kinerja keuangan dan efisiensi pengelolaan perusahaan kita.
Akhir kata, membangun startup bagi saya adalah membangun kendaraan tuk mewujudkan mimpi yang kita sematkan dalam visi perusahaan kita, bukan hanya sekedar instrumen finansial untuk memperkaya mereka yang punya lembar saham di akta perusahaan kita, terlebih bermain main dengan masa depan puluhan bahkan ratusan orang yang bekerja sepenuh hati setiap hari di perusahaan kita.
Artikel ini ditulis oleh Andreas Senjaya dan sebelumnya dipublikasikan di sini.