Membuat startup sendiri merupakan sebuah tren yang bisa diasosiasikan kepada anak milenial jaman sekarang. Selain untuk membawa perubahan di masyarakat dengan menciptakan solusi yang belum pernah ada sebelumnya, banyak dari kita yang tergiur oleh keren dan glamornya kehidupan para startup founders. Misalnya, Nadiem Makarim yang sukses membangun GO-JEK. Diliput media, bertemu Presiden, berjajar dengan orang-orang keren, dan tentunya berlimpah harta menjadi persepsi kita terhadap ide membangun startup. Apalagi, milenial seperti kita lebih senang menjadi bos kita sendiri dan tidak terikat peraturan yang dibuat orang lain.
Namun, menjadi founder startup ternyata memiliki sisi tersembunyi yang lebih gelap, lho! Dengan berbagai tuntutan yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran, tanggung jawab sebagai pendiri bisnis meletakkan kita pada risiko yang lebih tinggi terhadap beberapa jenis kesehatan mental. Bahkan, 30% dari entrepreneurs dilaporkan memiliki masalah kesehatan mental.
Inilah beberapa risiko kesehatan mental yang rentan dialami oleh founder startup:
Depresi
Memulai suatu usaha dari awal tentu membutuhkan banyak dedikasi. Kita harus bekerja lebih keras, dengan waktu yang lebih panjang dibanding orang lain. Akibatnya, kita bisa kekurangan tidur, kurang waktu refreshing, dan melewatkan olahraga. Padahal, ketiganya sangat penting untuk mental yang sehat. Selain itu, kita mungkin merasa terisolasi karena terlalu terserap pada apa yang kita kerjakan, sehingga jadi ngga nyambung dengan lingkungan sekitar. Jika ini terjadi, kita harus hati-hati, siapa tau depresi sedang meluncur ke arah kita.
Perlu diketahui, gejala depresi tidak harus berupa kesedihan mendalam yang membuat kita lesu, lho. Beberapa depresi seperti manic depression justru membuat kita sangat bertenaga. Sulit tidur, cepat marah, dan kekurangan berat badan juga merupakan gejala depresi. Pada kasus-kasus ekstrem, depresi bahkan mampu membawa seseorang pada keputusan untuk bunuh diri. Contohnya, Austin Heinz, CEO Cambrian Genomics, yang bunuh diri pada 2015 lalu.
Masalah Harga Diri
Sebagai pendiri usaha, mudah untuk kita merasa bisnis kita bukan sekadar apa yang kita lakukan, tetapi juga identitas kita–who we are. Akibatnya, kita mengaitkan harga diri dengan kekayaan, dan nilai diri kita dengan nilai bisnis kita. Sehingga, saat kita mengalami sedikit kegagalan, kita seringkali merasa gagal total, merasa ngga pantas menerima kesuksesan, bahkan sampai mempertanyakan identitas diri kita. Padahal, gagal adalah hal yang hampir pasti terjadi dalam proses membangun startup, karena faktanya, 90% startup yang dibangun akan gagal.
Jadi, jangan sampai pepatah “hasil akhir tidak pernah mengkhianati usaha” justru berbalik mengkhianati kita. Di dunia startup hal ini mungkin tidak berlaku, terutama dalam jangka pendek.
Kecemasan
Di dunia entrepreneurship, terutama sebagai founder, stres dan tekanan adalah teman sehari-hari. Soalnya, keberlangsungan hidup kita bergantung pada keberhasilan bisnis yang kita jalankan. “Kontrak” ini bikin kita terbebani dengan perasaan bersalah karena kurang meluangkan waktu untuk keluarga atau kurang menjaga hubungan.
Selain itu, keinginan untuk berhasil membuat kita sering sangsi dengan keputusan yang telah dibuat, Bagaimana kalau ternyata keputusan tersebut salah? Bagaimana kalau ternyata ada alternatif lebih baik? Dan kita cenderung menjadi terlalu antisipatif tentang hal terburuk yang mungkin terjadi terhadap startup yang kita bangun. Nah, justru segala beban emosi dan kecemasan ini bisa membuat kita burnout dan tidak mampu bergerak.
Hati-hati, kalau hal ini berakhir dengan bisnis yang tidak terurus dengan baik, kita bisa terjerumus ke keadaan pikiran yang lebih membahayakan.
Adiksi
Dua karakteristik yang menjadi kekuatan para pendiri startup adalah passionate dan obsesif. Kebutuhan untuk terus bergerak maju meski dilanda berbagai rintangan adalah aset yang penting. Namun, jika ini terjadi berlebihan, bisa jadi hal tersebut merupakan tanda-tanda kepribadian yang rentan kecanduan.
Beberapa gejala orang yang memiliki adiksi termasuk:
- Pikiran obsesif–atau tidak mampu mengontrol pikiran-pikiran negatif yang hadir berulang kali,
- Withdrawal-engagement cycle–yaitu siklus keterlibatan dan penarikan diri dari aspek-aspek di kehidupan,
- Emosi negatif–misalnya perasaan bersalah, ketegangan tinggi, dan kesehatan fisik yang buruk.
Menariknya, penelitian juga membuktikan bahwa seseorang yang kecanduan dalam satu hal memiliki kecenderungan lebih besar untuk kecanduan dalam hal lain, misalnya dalam perilaku tertentu atau ketergantungan zat lainnya.
Lalu, apa bisa yang dilakukan?
Nah, setelah menyimak beragam penyakit mental di atas, sekarang kamu pasti bisa menyimpulkan bahwa meski kehidupan sebagai startup founder terlihat ideal, kenyataannya selalu ada risiko pahit bagi setiap pilihan. Setelah kamu mengenali beberapa risiko tersebut, giliran kamu mempelajari bagaimana cara mencegahnya, dan bagaimana menanggulanginya jika telanjur terjadi. Yang penting, tetaplah realistis dalam membangun usahamu, dan sebisa mungkin pelajari juga hal-hal tidak mengenakkan yang luput dari perhatian. Ingat, sebrilian apa pun kita, seorang pendiri startup tetaplah manusia yang memiliki breaking point.
Jika kamu merasa mengalami beberapa gejala di atas, jangan ragu untuk berhenti dan bernapas sejenak. Yang terpenting, jangan malu untuk mencari bantuan profesional