Silicon Valley bukan sekadar tempat, bahkan boleh dibilang Silicon Valley bukan sebuah tempat. Silicon Valley adalah pola pikir yang mendorong lahirnya ide. Silicon Valley adalah pola pikir yang melahirkan tindakan.
Dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer menuliskan kalimat yang menggugah, kurang lebih bunyinya: bagi seorang terpelajar, adil itu sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Mungkin, bagi startup, ada baiknya menempatkan silicon valley itu sejak dalam pikiran, kemudian menjadi perbuatan.
Sebentar, perlu ditegaskan dulu di sini bahwa saya bukan sedang mengusung neo-liberalisme atau pemikiran kebarat-baratan. Maksud saya, harap disimak, ketika kita menganggap Silicon Valley sebagai sebuah panutan, kita harus tahu apa sebenarnya yang kita contoh.
Dalam hal ini, saya sungguh merasa bahwa startup di Indonesia jangan menjadikan Silicon Valley dalam arti geografis sebagai sebuah tujuan pamungkas. Boleh kok pergi ke sana, tapi harus jelas apa yang mau dicapai dan dibawa pulang (lebih dari sekadar kaos atau magnet).
Poin yang ingin saya tegaskan adalah: yang patut dicontoh dari Silicon Valley adalah pola pikirnya. Istilahnya, the silicon valley mindset.
Beberapa waktu lalu, Bobby Amiri dari GSV Labs sempat berkunjung ke Indonesia. Dari berbagai hal yang dikatakannya, ia sempat berujar bahwa Indonesia tidak perlu serta-merta meniru startup yang berhasil di luar sana. “Apa yang berhasil di sana, belum tentu berhasil di sini,” ia menegaskan.
Lebih penting, ujarnya, adalah memahami mengapa sesuatu itu dilahirkan. Semuanya dimulai dari masalah dan upaya untuk memecahkan masalah itu.
Baca juga: Technology Trendsetter in The Heart of The Valley
Kota Mengantuk, Tanpa Gedung Tinggi
Saya punya beberapa kesempatan untuk “berkunjung” ke SIlicon Valley. Kunjungan itu memang lebih cocok dianalogikan sebagai turis yang datang ke objek wisata, karena di sana saya belajar, mencatat dan merekam, namun saya tidak menjadi bagian dari lingkungan itu.
Ini berbeda dengan Andreas ‘Jay’ Senjaya, dari iGrow, yang sungguh-sungguh sedang menjadi bagian dari Silicon Valley. Ia mengikuti program inkubasi di 500 Startups, bersama perusahaan rintisan digital dari berbagai daerah di dunia. Pulang dari sana, Jay bisa bercerita dan berbagi lebih banyak daripada saya yang cuma “turis” ini.
Sebelum ke Silicon Valley sungguhan, ada imaji yang menetap di kepala saya soal wilayah itu. Misalnya, saya berpikir bahwa Silicon Valley adalah lokasi terpusat, yang mudah untuk dijangkau setiap sudutnya. Saya juga sempat mengira “lembah” itu dipenuhi bangunan-bangunan besar pencakar langit, dengan kaca berkilau atau beton-beton dingin.
Kenyataannya, wilayah-wilayah yang tergabung dalam area mitologis Silicon Valley itu lebih mirip Depok, Tangerang, atau Bekasi. Kota mengantuk yang sekilas tampak tak memiliki kegiatan, dengan jumlah gedung tinggi yang terbatas.
Bagian paling metropolis adalah San Francisco, itu pun jika dibandingkan kota, seperti New York atau Los Angeles agaknya akan tampak berbeda sekali. San Francisco terasa lebih hangat dan ramah daripada dua kota yang disebut belakangan.
Salah satu kunci keberhasilan Silicon Valley adalah Stanford. Kampus yang agaknya tidak berhenti pada mencetak sarjana atau doktor saja, tapi juga mencetak manusia. Kampus yang mungkin (ini asumsi saya) tidak sekadar jadi menara gading, tapi peduli dan bermakna untuk sekitarnya.
Harus diakui, saya menyimpan harapan pada Depok untuk bisa seperti itu. Kampus-kampus raksasa yang bersemayam di Depok harusnya bisa berpelukan dengan masyarakat di sekitarnya untuk melahirkan solusi.
Baca juga: Berkat Kreativitas Pemenang Start Up Surabaya Terbang Ke Silicon Valley
Pola Pikir, Lagi-lagi Pola Pikir
Ah, sebelum saya mengigau lebih jauh soal Depok dan impian Silicon Valley, mari kembali ke soalan pola pikir tadi. Ada dua pola pikir yang rasanya patut untuk diadopsi segera: keberagaman dan berani gagal.
Keberagaman mengacu pada kecenderungan untuk memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam tim perusahaan rintisan digital. Adanya keberagaman memungkinkan sudut pandang yang berbeda-beda pula dalam mencari solusi masalah yang dihadapi. Hipster, hacker, and hustler bukan sekadar jargon sok asyik kok. Akarnya ada di pola pikir itu.
Berani gagal mengacu pada pola pikir bahwa dari setiap kegagalan ada peluang pembelajaran. Gagal tak perlu dicemooh, bahkan bisa dikenakan bagaikan sebuah lencana kebanggaan.
Oh ya, terkait hal ini juga, sebaiknya jangan lagi takut untuk berbagi ide atau ilmu. Ini penyakit yang lazim ditemui di dunia startup kita. Kadang kita takut membicarakan ide startup karena takut idenya dicuri orang.
Coba pikirkan lagi, jangan-jangan sebenarnya kita takut gagal sebelum mulai, Takut dianggap punya ide yang buruk. Sekadar melempar ide ke orang lain saja tidak mau. Padahal, diskusi ide bisa jadi sarana awal menguji diterima atau tidaknya ide tersebut. Tentunya, jangan berhenti pada ide saja ya.
Lebih baik silicon valley sejak dalam pikiran daripada gagal sejak dalam pikiran. Ya kan?
Baca juga: Apa Sih yang Membedakan Silicon Valley dengan Bandung?
Artikel ini ditulis oleh Wicak Hidayat, dan sebelumnya dipublikasikan di tekno.kompas.com.