“Money can’t buy happiness, but somehow it’s more comfortable to crying in a Porsche than on a bicycle.”
Indonesia akhir-akhir ini lagi dihebohkan dengan fakta bahwa dolar makin menguat, sementara rupiah makin melemah. Banyak pihak yang jadi kambing hitam, mulai dari Presiden Jokowi yang dikatain gak becus menghadapi situasi, Korut dan Korsel yang isunya pengen perang antar negara, sampai ke Amerika Serikat itu sendiri, yang memang ekonominya lagi bagus.
Ini bikin kita gatal untuk bikin September jadi Month of Money–sebulan ini kita bakal ngomongin tentang uang, uang, dan uang, or economy in general. Seperti kutipan di atas, uang katanya gak bisa membeli kebahagiaan, tapi akan lebih nyaman untuk menangis di dalam Porsche daripada di atas sepeda.
Uang itu bagaikan sebuah “janji”, janji akan kenyamanan, janji akan kesempatan, bahkan janji akan persahabatan. Yes, you eventually need money to afford “hanging out” to have friends or girlfriend/boyfriend. Uang menjadi tool yang membuka kita ke berbagai kesempatan: pendidikan tinggi, layanan kesehatan berkualitas, dan lain-lain. Uang juga menjanjikan kenyamanan: rumah bagus, kendaraan bagus, makanan enak–improved quality of life.
Sedihnya, banyak orang yang melihat uang bukan sebagai tool, tapi sebagai tujuan. Mau jadi orang kaya, punya banyak uang, tapi habis itu gak jelas mau dipake buat tujuan apa yang substansial. Di sinilah menurut kita seru buat ngebahas uang dan ekonomi, karena uang adalah–undoubtedly–bagian penting di hidup kita, yang memberikan solusi sekaligus menciptakan masalah.
Intinya sih, jangan sampai kita jadi orang menyedihkan kayak yang Tyler Durden deskripsikan di Fight Club:
“We buy things we don’t need with money we don’t have to impress people we don’t like…”
Baca juga: Bitcoin, Uang Digital di Era Digitalisme
Image header credit: teropongbisnis.com
Comments 2