“You don’t get to 500 millions friends without making a few enemies.” – The Social Network
Film The Social Network lebih menceritakan mengenai kehidupan Mark Zuckerberg sebagai “manusia biasa”. Bagaimana kehidupan sehari-hari Zuckerberg diceritakan melalui sisi personalnya dengan jelas. Mulai dari awal mula penciptaan FaceMash, yang didasari akibat rasa patah hati Zuckerberg, hingga kemudian berevolusi menjadi Facebook seperti yang kita ketahui sekarang. Tidak tanggung-tanggung, kehadiran FaceMash dan aplikasi untuk menghubungkan sesama mahasiswa di Harvard ini, memunculkan sensasi yang luar biasa. Begitu pula pihak kampus yang menentang tindakan dari Zuckerberg, sehingga berujung pada drop out-nya Zuckerberg karena ingin fokus mengurus Facebook.
Kejadian demi kejadian yang mengarahkan Zuckerberg pada konflik mulai dari masalah sosial di lingkungannya, ekonomi, bahkan hingga menuju ranah hukum. Sehingga memunculkan “a few enemies” yang tidak menyukai pribadi Zuckerberg. Walaupun beberapa orang tidak mendukung upaya Zuckerberg untuk mewujudkan misi Facebook: to give people the power to share and make the world more open and connected, tapi dia terus menerus merealisasikan apa yang diyakininya.
Baca juga: Bulletinboard, Kolaborasi antara Pendidikan dan Teknologi
Selain kisah dari luar negeri, ada pula kisah dari dalam negeri, yaitu Nadiem Makarim, CEO dari Gojek. Awal kemunculan Gojek saja sudah membuat heboh negeri ini. Disusul dengan beberapa follower perusahaan sejenis. Pro kontra yang terjadi akibat adanya Gojek ini banyak macamnya. Mulai dari driver Gojek yang diancam oleh pangkalan ojek sekitar hingga mengarah ke kekerasan fisik, bertentangan dengan hukum karena motor dianggap bukan sebagai alat transportasi umum, hingga pencabutan ijin beroperasinya Gojek oleh pemerintah.
Jika dihubungkan antara kasus Facebook dengan Gojek, keduanya memiliki dua kemiripan. Yaitu sama-sama menggunakan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan. Facebook dengan kehidupan sosialnya. Dan Gojek dengan alat transportasinya, hingga disebut sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan terutama di Jakarta. Kemiripan yang kedua, baik Facebook maupun Gojek, mereka menimbulkan kehebohan, memunculkan sensasi, dan menimbulkan kontroversi dari pihak lain. Sebenarnya, jika ditilik lebih dalam, sensasi dan kontroversi merupakan kunci utama dari kehadiran seorang problem solver.
Baca juga: Menyelesaikan Masalah Gak Selalu Butuh Teknologi Canggih
Dengan sensasi dan kontroversi, mereka berhasil merekonstruksi sistem yang benar-benar dibutuhkan oleh khalayak luas pada jaman sekarang. Walaupun banyak pihak yang menentang, tetapi pada akhirnya, tidak ada yang mampu mengalahkan massa yang membutuhkan jasa mereka. Bukan berarti, sesuatu yang menuai sensasi dan kontroversi adalah tanda-tanda dari problem solver. Tidak semuanya seperti itu. Lihat dulu kasusnya seperti apa. Baik Zuckerberg maupun Nadiem, keduanya merupakan sosok jenius yang mampu merekayasa sudut pandang sosial dan gaya hidup bertransportasi masyarakat. Sensasi dan kontroversi yang semacam inilah yang seharusnya kita tiru untuk bisa menjadi solusi dari problem solving yang dihadapi oleh masyarakat luas.
Udah siap bikin sesuatu yang “kontroversi”?
Baca juga: Urban Farming, Cara Teknologi Mendekatkan Kita pada Alam
Image header credit: cloudfront.net
Comments 1