Hari Lahir Pancasila tahun ini memberikan saya inspirasi untuk menulis sebuah artikel (di luar dari kewajiban saya sebagai seorang Content Writer di Ziliun, ehe) tentang memaknai kembali Hari Lahir Pancasila di tengah kondisi negara yang lagi gak baik- baik aja.
Sejak SD, bahkan TK rasanya, kita mendapatkan banyak sekali pemahaman mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Serta, nilai-nilai di dalamnya yang harus kita terapkan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun, makin ke sini, di usia saya yang hampir menginjak 24 tahun, kenapa nilai-nilai Pancasila justru semakin memudar?
Mau beribadah aja kok masih was-was?
Bukan rahasia umum lagi, toh, kalo di Indonesia yang katanya menganut sila Ketuhanan yang Maha Esa, tapi untuk urusan beribadah masih ada perasaan was-was yang menghantui. Bukan satu atau dua kali kejadian mengerikan yang terjadi di rumah ibadah. Belum lagi sentimen-sentimen negatif untuk kelompok tertentu, kian membuat “kewaspadaan” diri pengikutnya kian meningkat.
Bansos pandemi kok dikorupsi?
Ini yang bikin marah banget, udah tau rakyat lagi sengsara akibat pandemi. Belum lagi berbagai polemik yang terjadi, gak cuma di bidang kesehatan, tapi juga di bidang lainnya. Ada bantuan untuk mereka yang membutuhkan, malah jadi ladang korupsi. Mau nanya banget, di mana hati nurani “mereka”?
Baca juga di sini: Politik Kotor? Lalu Siapa yang Membersihkan?
Mana yang katanya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, jelas sekali korupsi itu adalah tindakan yang tidak ada adabnya sama sekali. Plus, korupsinya dari bansos pandemi lagi, udah gak paham lagi, deh.
Kok masih membuat “kotak” untuk kelompoknya sendiri
“Kotak” inilah yang akhirnya membuat Indonesia jadi gampang tersulut dengan berbagai informasi atau kejadian “pancingan”. Sehingga membuat orang-orang di dalam kelompok tersebut jadi cepat marah dan tersinggung apabila ada sesuatu yang berbeda dari diri mereka.
“Kotak” tersebut akhirnya membuat batasan dan menjadi dinding pembatas antara si A dan si B. Perbedaan kelas dan status jelas makin terasa di dalam konteks ini.
Suara rakyat seperti angin lalu
Setiap belajar PKn, gurunya selalu bilang kekuasaan tertinggi negara dipegang oleh rakyat. Tapi, suara rakyat kenapa eperti angin lalu saja, tiap ada yang mengeluarkan suaranya untuk membela keadilan.
Sejatinya, suara rakyat memberikan aspirasi kepada para pemegang jabatan bahwa ada hal-hal penting dan genting yang harus segera ada solusinya. Tapi, kalo tetap acuh, buat apa?
Gak akan menang di mata hukum kalo lawannya orang kaya
Poin terakhir ini kayaknya gak usah saya jelaskan panjang lebar, deh. Udah paham sendiri gimana sistem yang sudah ada dan tersusun rapi dalam bentuk Undang-Undang, bisa terganti kekuatannya dengan uang. Ketika ada si kaya dan si miskin sedang ada di proses hukum, dan gak harus jadi ahli hukum untuk tahu si kaya yang salah. Sudah sangat tertebak, siapa yang akan jadi pemenang kasus.
Selamat Hari Lahir Pancasila, Negaraku
Semoga seluruh rakyat Indonesia dapat benar-benar merasakan nilai-nilai yang ada di Pancasila, tanpa terkecuali. Semoga.