Siapa di sini yang punya impian membuat startup media? Kira-kira, apa sih yang jadi awal dari munculnya impian bikin startup media itu? Kebanyakan, orang-orang yang ingin membangun sebuah media karena alasan yang idealis. Misalnya media-media yang mendukung pemberdayaan perempuan, media yang menyuarakan isu mental health, atau media yang mempunyai misi melestarikan kuliner Indonesia.
Tapi idealisme aja enggak cukup. Startup Media harus punya strategi bisnis yang mumpuni agar bisa berkelanjutan.
Di era digital ini, media massa terutama yang cetak mulai ditinggal pembaca sehingga banyak perusahaan media cetak yang tutup. Namun menurut Direktur Eksekutif Tempo.co, Burhan Sholihin, pada dasarnya orang tetap mengkonsumsi berita. “Karena orang suka diceritain. Konten, berita, informasi tetap dibutuhkan, tapi tantangannya bagaimana kita bisa survive di era digital ini,” ujar Burhan dalam acara Demo Day Lab Kinetic di Ruang dan Tempo, Jakarta.
Burhan mengatakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan para media startup founder yaitu konten yang berkualitas, bisnis yang berkelanjutan, dan teknologi. Menurut Burhan. akan disayangkan jika media hanya memiliki idealisme yang tinggi tapi kontennya tidak berkualitas.
Namun, jika sebuah media hanya mengandalkan konten berkualitas, kata Burhan, bisa-bisa kontennya itu tidak tersampaikan ke audiens. Maka perlu ada strategi dari segi teknologi dan dari sisi bisnis. Tapi kita tidak bisa membuat sebuah platform hanya sesuai selera kita, melainkan membuat platform sesuai selera user.
Menurut Dennis Adishwara, CEO Rombak Media, kita bisa mengemas konten yang terlihat rumit dengan tampilan yang lebih menarik seperti video animasi. “Apapun teknologi dan kontennya yang penting harus relevan dengan penonton,” ujar Dennis.
Pangeran Siahaan, Founder Asumsi.co mengatakan, untuk mengejar audiens bukan berarti tidak bisa menyajikan konten yang berkualitas. Ia berpendapat, bahwa pasar bisa diciptakan. Misalnya ketika Asumsi membuat konten politik, ia menyadari bahwa ada orang yang menyukai acara politik, namun perlu ada pengemasan konten yang berbeda.
“Nggak bisa dibikin hitam dan putih antara konten yang menjual dan mendidik. Bisa kok keduanya,” ujar Pangeran.