Perjalanan panjang, baik di kendaraan pribadi atau umum, memang lebih asik kalau ditemani musik. Di kereta Commuterline Jabodetabek, bukan hal istimewa lagi melihat penumpang dengan kabel terjuntai dari telinga mereka.
Sedangkan mobil pribadi di Jabodetabek mungkin sekarang ini adalah habitat paling subur untuk radio siaran. Pagi dan sore, saat macet menggiring manusia menjadi sakit jiwa, siaran radio jadi pereda dendam.
Begitu juga saya, dalam perjalanan mengantar anak sekolah, siaran radio tadinya adalah hiburan yang cukup menyenangkan. Garisbawahi kata “tadinya”, karena belakangan ini radio kami lebih sering mati.
Radio siaran adalah rezim, ia mendikte pendengarnya untuk mengikuti selera tertentu. Jika penyiarnya tiba-tiba membicarakan sesuatu yang tak pantas didengar anak-anak? Saya cuma bisa tersedak dan buru-buru beralih ke frekuensi lain. Maka sudah cukup lama saya merasa, rezim ini perlu digantikan. Sudah bisa diduga, gantinya adalah streaming musik digital.
Baca juga: Betapa Mudahnya Mengambinghitamkan Teknologi
Layanan streaming menjanjikan pengalaman yang berbeda, karena pendengar bisa memilih sendiri apa yang mau didengarkannya. Ya, dulu itu dilayani CD, kaset atau pemutar musik digital, tapi karena sekarang katalognya ada “di awan” maka pilihannya nyaris tak terbatas.
“Hei, ingat lagu yang kita suka dengar di warnet itu? Dulu, sambil mengerjakan tugas kuliah,” celetuk saya pada pasangan, ceritanya mau nostalgia gila masa-masa pacaran.
Tak perlu lama, aplikasi streaming musik bisa menghadirkan lagu itu langsung di saat itu juga. Harapannya, bersama dengan itu hadir pula kenangan manis kesibukan mengerjakan tugas kuliah bersama-sama (dan bukan kenangan pahit saat menunggu sendirian di warnet berjam-jam untuk seseorang yang akhirnya tidak jadi datang).
Maka sekarang, rutinitas pagi di mobil adalah memasang smartphone ke kabel charger, menyalakan bluetooth dan mendengarkan lagu dari bluetooth speaker. Ah, ya, radio mobil kami memang masih bawaan pabrik, bukan dari jenis yang bisa ditautkan via bluetooth.
Teringat judul puisi Dorothea Rosa Herliany: Sebuah radio, kumatikan. Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, judul itu terngiang menjadi: sebuah radio kumatikan, streaming kunyalakan.
Discovery, Serendipity, Friendly
Tapi begini, meski rezim radio mendikte pendengarnya untuk mendengarkan lagu tertentu, ada satu hal dari radio yang diam-diam saya nikmati. Ada perasaan bahwa saya bisa tiba-tiba mendengar sebuah lagu yang enak, sebuah discovery atau bahkan semacam serendipity ketika lagu tertentu tiba-tiba dimainkan.
Apalagi kalau kebetulan lagu dari playlist warnet yang dulu itu. Rasanya menyenangkan sekali, seperti tiba-tiba kembali ke masa lalu. Tahu kan? Seperti lagu klasik Yesterday Once More itu lho.
Ternyata oh ternyata, fungsi serendipity dan discovery itu juga ada di layanan streaming. Walaupun tidak seratus persen sama, tapi cukup mirip-mirip lah, karena mereka juga punya fitur “radio” di dalam layanan streaming. Fitur yang memungkinkan pengguna untuk mendengarkan lagu-lagu tanpa memilih.
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia Lewat Arsip Musik Digital
Lebih lucu lagi, layanan streaming musik bisa punya kumpulan playlist yang dicocok-cocokkan dengan tema tertentu. Mulai dari mood (galau, semangat, sedih, gembira?) hingga genre (pop, rock, cadas, kenangan?).
Tapi ada satu hal yang tidak dimiliki layanan itu: mereka tidak ada penyiarnya.
Saya sudah menyadarinya, tapi sungguh lebih menohok ketika membacanya sendiri dari “orang radio”. Dalam tulisan di blognya, Rane Hafidz — yang lebih akrab di kepala saya sebagai Rane Jaf — sangat apik menuturkan peran radio yang diambil alih oleh layanan streaming. Baca deh di: http://suarane.org/layanan-streaming-musik-quo-vadis-radio/
Nah, coba simak nasihat Rane untuk radio. Intinya, kalau boleh saya sok menyimpulkan: jika satu-satunya yang tak dimiliki layanan streaming adalah manusia alias penyiar radio, maka penyiar radio harus menjadi relevan dengan pendengarnya dan bisa menjadi teman.
Baca juga: Pekerja Kreatif Jangan Kerja Sendiri Dong!