Ada seorang bernama X, yang pernah bilang: “Kalau lo udah invest waktu, tenaga, dan pikiran, jangan mau gak dibayar atau cuma dibayar murah.”
Di sisi lain, seseorang bernama Y bilang: “Kita ini belum punya apa-apa. Mending banyakin pro bono atau voluntary work aja dulu untuk bangun reputasi.”
Well, buat anak muda atau para millennials yang sedang membangun karir #etsaaah situasi ini selalu menimbulkan dilema. Kita selalu bertanya ke diri sendiri: “Seberapa sih value diri gue dan pekerjaan gue?”
Emang susah buat ngejawab pertanyaan ini, karena gak semua orang naturally cerdik dalam menyeimbangkan antara memberikan value dan menjual diri. Banyak yang ngasih value terus tapi gak bisa pasang harga atas dirinya (alias dibego-begoin). Banyak yang ngejual diri terus (minta insentif dalam segala hal) padahal value kerjaannya gak seberapa.
Ada cerita teman saya yang mungkin bisa dibilang beruntung. Dia ini punya prinsip, yang penting kasih value lebih besar dari ekspektasi orang. Kebetulan teman saya freelance designer yang sangat determined dalam pekerjaannya. Awalnya memang hanya mengerjakan proyek pro bono, tapi karena value yang dia kasih lebih besar dari yang diharapkan klien (baik dari kualitas desain maupun dari cara dia membangun hubungan), lama-lama klien pun merekomendasikan dia ke klien-klien lain. Akhirnya, setelah mengerjakan 10 proyek pro bono, klien ke-11 bilang ke dia: “Kalau kamu dibayar segini, cukup gak?”
Baca juga: Sibuk Itu Cuma Mitos
Tapi apakah anak muda lain (dalam konteks ini yang menjadi freelancer) seberuntung itu? Mungkin teman saya akhirnya bisa mapan dari pekerjaan itu karena kliennya tahu diri. Gimana kalau dapet klien gak tahu diri yang selalu ngutang atau ngebayar murah? Gimana dong kita tahu kapan mesti mulai memasang harga yang pantas untuk diri sendiri?
Well, gak ada formula eksak untuk hal ini. Tapi melihat apa yang teman saya lakukan, saya mengambil kesimpulan kalau memberikan value terus-menerus sambil memasang harga atas diri sendiri bukanlah suatu hal yang kontradiktif atau berlawanan, tapi justru sesuatu yang berjalan bersamaan.
Teman saya tidak hanya mendesain, tapi memberikan kualitas desain yang top notch. Bagaimana cara desainnya bisa bagus? Ya dia terus melatih skill dan menambah referensi. Dengan terus belajar, dia tidak hanya memberikan value lebih kepada kliennya, tapi juga sekaligus menghargai diri sendiri dengan tidak membiarkan dirinya jadi desainer abal-abal.
Baca juga: Bertanya Perlu Logika
Dengan membangun relationship yang baik dengan klien, dia bukan hanya membuat klien merasa senang dan nyaman sehingga mau membayar lebih, tapi dia juga menghargai diri sendiri dengan tidak memposisikan diri hanya sebagai babu si klien, melainkan sebagai partner yang setara.
Jadi kalau saya disuruh memilih lebih setuju dengan saran X atau Y di atas, saya tidak sepenuhnya setuju dengan dua-duanya. Karena itu tadi, tidak harus memilih salah satu ekstrem atau pandangan untuk dapat berhasil dalam konteks apapun (tidak hanya sebagai freelancer). Anak muda tanpa pengalaman tidak harus memilih untuk “yang penting bangun portfolio dulu” atau “yang penting pasang harga atas diri sendiri dulu”. Keduanya bisa berjalan beriringan.
Jadi, mari hargai diri sendiri, bukan dengan langsung pasang harga tiap kali diminta kerja, tapi dengan tidak membiarkan diri sendiri menjadi abal-abal, alias dengan terus memberikan value.
Baca juga: Jangan Lupa Mengasah Kapak
Image header credit: gratisography.com
Comments 2