Di usia saya yang menginjak 26 tahun, saya harus belajar untuk memilih hal yang sulit. Memilih masa depan di sebuah perusahaan besar atau terus berjuang menemani buah hati saya berlayar. Saya didesak oleh keadaan yang tak pernah saya duga sebelumnya.
Terlalu banyak detail yang harus saya perhatikan untuk menyusun rangkanya. Namun, waktu terus berjalan. Tenaga ahlinya pun silih berganti setiap waktu. Prototipe perahu ini pun telah dirasakan oleh lebih dari 500 anak.
Pondasi kerangkanya sudah siap. Tinggal layarnya yang belum terkembang. Tapi, saya dipaksa untuk membuatnya berlayar segera.
Keadaanlah yang membuat keberadaan saya dipersalahkan. Karena usia, saya dituntut untuk naik ke kapal lain yang lebih besar, lebih mewah, lebih terjaga keamanannya.
Baca juga: Video Lego Ini Merangkum Struggle-nya Startup Dalam 2 Menit
Di satu sisi, saya merasa senang berada di kapal itu. Saya bisa belajar banyak sistem di dalamnya. Melihat bagaimana nahkodanya dengan keren membuat kapalnya terus berlayar.
Sementara itu, dari kejauhan saya melihat buah hati saya sendiri sedang berlayar. Perahu kecil itu terus mencari pulau impiannya yang tak kunjung tampak. Hingga suatu hari, saya melihat perahu kecil itu terombang-ambing di tengah badai. Ia menari-nari terbawa arus, membawa awak yang harus diselamatkan.
Di tengah kemewahan yang ditawarkan si kapal besar, saya benar-benar tidak kuat melihat perahu yang telah menemani hampir 8 tahun perjalanan hidup saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk meninggalkan kemewahan itu. Saya nyemplung, berenang menghampiri si perahu kecil.
Baca juga: All The Advices You Need to Know in 14 Minutes
Di titik inilah saya sedang bergumul. Keberadaan saya benar-benar dipersalahkan. Konyol rasanya basah kuyup kedinginan tapi tak pernah ada yang memberi selimut. Menyelamatkan perahu kecil ini tampak tak direstui oleh orang-orang di sekitar.
Sebagai entrepreneur, risiko inilah yang harusnya sudah saya perhitungkan sebelumnya. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan perahu kecil ini adalah diri sendiri. Saya tak boleh cengeng menghadapi setiap persoalan yang terjadi. Saya dituntut untuk lebih kreatif agar bisa melewati badai kecil ini. Ya, saya sudah pastikan suatu saat akan datang badai yang lebih besar.
Saya yakin, di luar sana juga banyak orang-orang yang tengah membuat perahunya. Banyak yang sedang berjuang agar perahunya bisa melewati badai. Banyak yang tengah berupaya agar perahunya tidak tenggelam.
Baca juga: Sarjana Pecundang dan Mimpi-mimpinya (1)
Setidaknya, kita sedang sama-sama berjuang untuk membuat banyak orang berlayar menuju pulau impiannya. Kita adalah kapal-kapal kecil yang bisa menyelamatkan negara ini dari krisis, katanya.
Sekali lagi, kalian boleh memanggil saya Sarjana Pecundang. Karena nyatanya, saya pernah menutup gerakan komunitas belajar itu selama 26 jam dan membukanya kembali. Kini, saya masih tetap berjuang dalam bimbang.
Namun, saya diingatkan oleh seseorang tentang kisah Henry Ford. Ia disebut gila karena membuat mobil di saat semua orang berkuda. Semua orang yang melakukan perubahan besar, memang sudah takdirnya tidak didukung oleh orang-orang pada umumnya.
Kiranya, pengalaman saya ini bisa membuat kita semua tetap terpecut dengan setiap tantangan yang datang. Ingatlah bahwa kita tidak sendiri. Sampai jumpa di pulau impian, Bung!
Header image credit: 7-themes.com